Filicide: Saat Ibu Merasa 'Harus' Membunuh Anak Kandungnya

Inforiau - KASUS pembunuhan yang dilakukan seorang ibu kembali terjadi. Kali ini terjadi di Muara Enim, Sumatera Selatan. Seorang Ibu menyayat anaknya hingga tewas. Peristiwa memilukan itu terjadi pada Jumat (25/11/2022) di Dusun VI (Talang Padang) Desa Dalam, Kecamatan Belimbing.
Berita tentang pembunuhan anak oleh ibu kandung nampaknya bukan lagi berita baru di telinga kita, ya. Sepanjang tahun 2022 ini saja, entah sudah berapa banyak kasus pembunuhan serupa yang didengar, dengan motif beragam tentunya.
Pembunuhan anak oleh seorang ibu kandung memang dirasa tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ibu dengan fitrah yang semestinya menyayangi dan mengasihi anaknya, justru membunuh? Apa yang sebenarnya dipikirkn dan dirasa Ibu tersebut? Tidakkah ada rasa sayang di hatinya? Atau, tidakkah bisa bersabar atas apapun masalah yang sedang dialami hingga satu-satunya jalan hanya dengan “harus“ mengakhiri hidup anaknya? Bahkan mungkin terpikir pula, tidakkah Ibu ini beriman? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya sering muncul di benak kita, saat mendengar kasus pembunuhan ini.
Bicara mengenai faktor penyebab mengapa seorang ibu melakukan tindakan ini, tidak bisa dilihat dengan pandangan sempit dan justifikasi saja. Kondisi ini merupakan permasalahan yang kompleks dan multifaktor. Kita tidak dapat menghakimi pelaku hanya dengan satu penilaian yang mungkin juga dinilai dari sudut pandang kita sendiri. Karena kita sendiri tidak tahu entah peristiwa/pengalaman hidup apa yang sudah dialami dan dilalui oleh pelaku sepanjang rentang kehidupannya.
Pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tua kandung, wali maupun orang tua tiri hingga usia 18 tahun disebut dengan filicide. Menurut Phillip Resnick (1970) seorang Psikiater, dalam Child murder by parents: A psychiatric review of filicide, kasus pembunuhan anak dilatarbelakangi oleh lima motif.
1) Altruistic filicide-Altruistik. Pembunuhan dilakukan karena orang tua meyakini kematian adalah pilihan terbaik bagi anak yang akan mengurangi beban mereka dibandingkan hidup menderita karena disabilitas, mengidap penyakit tertentu, maupun mengalami kesengsaraan. Selain itu, orang tua ingin mengakhiri hidupnya dan “mengajak” anak-anaknya, karena mereka tidak ingin meninggalkan anaknya di dunia yang menurut mereka berbahaya dan tidak bersahabat.
2) Acutely psychotic filicide-Psikotik Akut. Terjadi ketika orang tua mengalami gangguan jiwa hingga ingin membunuh anak tanpa motif rasional. Dalam keadaan ini, orang tua dipengaruhi kondisi-kondisi karena gangguan jiwa yang dialaminya seperti halusinasi, delusi, dan lain-lain.
3) Unwanted child filicide-Anak yang tidak diinginkan. Kehadiran anak tidak diharapkan atau kehadirannya dirasa sebagai penghalang. Kategori ini juga mencakup orang tua yang mendapat manfaat dari kematian anak dengan cara tertentu (misalnya: mewarisi uang asuransi atau menikah dengan pasangan yang tidak menginginkan anak).
4) Accidental filicide- Pembunuhan ini terjadi tanpa adanya intensi dari orang tua, melainkan akibat kekerasan/penganiayaan yang dilakukannya.
5) Spouse revenge filicide-Balas dendam terhadap pasangan. Biasanya disebabkan oleh perselingkuhan atau perpisahan, sehingga kematian anak dianggap upaya untuk membuat mereka menderita.
Dari lima motif ini, Altruistik-lah yang paling banyak ditemukan dalam kasus pembunuhan anak oleh orang tua. Namun, apapun alasan yang mendasari seorang ibu melakukan tindakan pembunuhan, menghakiminya sepihak bukanlah hal yang bijak dilakukan.
Bagaimanapun kita hidup dan dibesarkan di lingkungan, suasana dan dukungan bahkan pola pengasuhan yang sangat mungkin berbeda. Pengalaman dan tantangan hidup yang dialami juga pasti berbeda. Pengalaman-pengalaman hidup ini merupakan salah satu di antara aspek yang menentukan kondisi kesehatan mental seseorang bersama dengan faktor biologis tentunya.
Ada orang yang memang terlahir dan besar dengan kerentanan psikologis. Sehingga kejadian/pemicu yang menurut sebagian orang terasa “sepele”, namun tidak untuk kelompok-kelompok rentan ini. Mereka sangat mungkin tidak mempunyai keterampilan mengendalikan diri dengan baik. Misalnya saja, saat terpapar dengan kondisi penuh tekanan, ia akan mudah sekali terdistraksi dan sulit berpikir jernih untuk mendapat solusi yang baik. Terlebih jika memang pelaku sudah memiliki gangguan jiwa tertentu dan tidak tertangani dengan baik.
Dari banyaknya kejadian filicide yang terjadi belakangan ini, mungkin mengingatkan sudah saatnya kita membangun empati, belajar untuk melihat bahwa menjalani peran sebagai ibu bukanlah perkara mudah. Seorang ibu sudah dihadapkan dengan risiko gangguan kesehatan jiwa bahkan sejak sebelum ia melahirkan bayinya. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial/social support system sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan paska persalinan. Sebaliknya, rendahnya dukungan sosial yang diterima ibu menunjukkan rendahnya kualitas hidup yang dimilikinya. Adanya dukungan sosial mulai dari tingkatan keluarga hingga komunitas dapat membantu ibu dalam peran pengasuhan, seperti merawat dan menjaga bayi hingga dukungan emosional, ketika menghadapi masa-masa sulit. Dukungan sosial yang baik juga membantu seorang ibu membangun relasi yang baik dengan anak-anaknya.
Kiranya ini bisa menjadi pengingat bahwa kita semua punya tanggung jawab menjadi support system yang baik bagi mereka yang rentan, yaitu perempuan dan anak-anak. Agar tidak lagi terulang kasus-kasus filicide pada ibu-ibu lainnya.**
Oleh: Fellycia Poluan, S.Psi., M.Psi., Psikolog Klinis