NKRI Bukan Harga Mati

Minggu, 19 Agustus 2018 20:04:14 866
NKRI Bukan Harga Mati
AF

Pekan depan akan dibahas Amandemen Undang-Undang (UUD) 1945. Meskipun poin yang dibahas katanya tidak menyangkut hal yang substansi dari dasar negara, namun ini menunjukkan kebutuhan akan landasan bernegara sangat dinamis. Bahkan dalam waktu tiga tahun di awal reformasi sudah empat kali kitab suci ini di amandemen.

Sejarah juga mencatat, dua dekade awal kemerdekaan, UUD juga mencari bentuk terbaiknya. Bisa itu karena memang kebutuhan zaman, atau karena upaya penguasa tuk melanggengkan kepemimpinannya.

Tidak ada yang salah dengan amandemen, bahkan untuk kata yang amat keramat. NKRI. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Entah mantra apa yang membuat kita di pukau, tak sadar bahwa empat huruf tersebut mengangkang, antar satu kata dengan kata yang lainnya. Sangat jelas.

Kesatuan adalah bentuk negara, pasal pembuka di UUD 45. Implikasinya lebih kepada jenjang wewenang dan kedaulatan pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Namun tidak bisa juga dibantah bahwa Indonesia pernah berbentuk negara Serikat saat periode berlakukanya Konstitusi RIS 1949. Tentu dengan segala dinamika terbentuknya. Memang tidak bertahan lama, namun tak bisa kemudian distempel tinta basah bentuk negara Serikat itu barang haram.

Apatah lagi puluhan tahun menggunakan sistem Kesatuan, pemerintah pusat semakin hari memperlihatkan kepongahannya. Meskipun penerapan Desentralisasi terus dijadikan tameng bahwa daerah punya kuasa.

Yang terbaru, Blok Rokan. Logika saya tak bisa menerimanya. Atas nama negara Kesatuan, Jakarta rampas ladang minyak itu sesuka kepalo hotaknya, tanpa duduk musyawarah beradu lutut dengan pemimpin formal daerah maupun masyarakat adat. Riau ini bukan tanah kosong, ada Enam juta lebih penghuninya. Masyarakat tempatan sudah mendiaminya dengan atau tanpa sistem kekuasaan jauh sebelum Indonesia yang seumuran jagung ini ada.

Lalu kata Republik. Terang Dr Robertus Robert, dipilihnya Republik sebagai falsafah dan wadah penguasa melayani rakyatnya juga tidaklah mutlak diterima saat sidang BPUPK. Peserta sidang, ada yang menawarkan negara yang baru terbentuk saat itu menerapkan sistem Monarki. Republik pun dipilih dengan cara voting.

Memang berselisih dengan zaman itu tindakan genit yang berbahaya. Sebab itu jugalah Nabi Socrates dengan filsafatnya menafikkan dewa-dewa berakhir hidupnya dengan penjara dan racun, begitu juga benturan yang dihadapi Marx , Luther, Tolstoy yang menentang dogmasi suci karangan kaum agamawan, juga Nelson Mandela bin Bilal dikungkungan Apartheid. Namun tidak dengan Aisyah Ratu Kerajaan Ubur-ubur yang keburu mangaku khilaf.

Jika tuan tersulut dan miang karena tulisan ini, lantaklah, banyak amek, sila meradang. Namun jika diskusi dinilai sebagai sesuatu yang beradab, mari sambil ngupi, Gerbang Emas Purwodadi, di meja kupi peradaban.


Oleh : Alwira Fanzary Indragiri
Ketua OKP Lingkar Anak Negeri Riau

KOMENTAR