PLN Tak Hadir, Dewan Berang
Selasa, 26 Januari 2016 22:35:30 931

Pekanbaru, inforiau.co - Puluhan masyarakat Kampar yang menjadi korban banjir akibat dibukanya pintu air PLTA Koto Panjang, Kampar mengadu ke Komisi E DPRD Riau. Dalam aduannya, masyarakat juga menyampaikan kerugian akibat banjir tersebut.
"Kami dengan warga lain tidak dapat menyelematkan keramba dan kolam ikan kami, sehingga seluruh ikan kami banyak yang mati. Ini dampak ekonomi yang kami rasakan," kata Zulfarizal, salah seorang masyarakat saat gelar pertemuan dengan Komisi E, Senin (25/1).
Ia pun mengatakan, persoalan seperti ini dialami pihaknya setiap tahunnya, pemerintah pun dianggap tidak memiliki solusi untuk hal tersebut. Semestinya, pemerintah menurutnya mesti punya solusi untuk menangani persoalan yang dimaksud.
"PLN yang merupakan lembaga menangungi PLTA mesti bertanggung jawab. Dahulu kehadiran PLN kami harap dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, tapi ini malah menimbulkan kerugian," ungkapnya.
Sementara itu, Masnur, Ketua Komisi E DPRD Riau menyayangkan ketidak hadiran manajemen PLN maupun PLTA Koto Panjang dalam pertemuan tersebut. Padahal pihaknya sudah mengirimkan surat undangan ke manajemen PLN maupun PLTA Koto Panjang.
"Kami ingin tahu betul persoalanya seperti apa. Kalau dulu banjir itu langsung surut. Tapi ini sampai menggenangi rumah warga dan merusak keramba ikan masyarakat dengan kerugian mencapai lebih dari Rp6 miliar," terangnya.
Untuk itu, Komisi E sebutnya akan menjadwalkan ulang kembali pertemuan dengan manajemen PLN maupun PLTA Koto Panjang serta masyarakat korban banjir. Jika tidak datang, maka pihaknya akan mendorong pembentukan Panitia Khusus.
PLN: Solusinya Reboisasi Hutan
Sebelumnya Deputy Hukum dan Humas PLN WRKR, Sarno mengatakan bahwa pelepasan air dari bendungan Koto Panjang merupakan upaya untuk menjaga elevasi air dengan batas maksimum 85 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Karena selain untuk mempertahankan ketahanan bendungan, juga menjaga agar kawasan pemukiman penduduk di hulu sungai tidak terendam banjir.
"Kalau kita paksakan untuk tidak melepas air dari bendungan hingga melebihi batas toleransi ketinggian elevasi air di 85 MDPL, maka kawasan pemukiman penduduk di hulu sungai akan tergenang air. Pelepasan air menjaga agar kawasan pemukiman di hulu dan hilir sungai tidak terendam banjir," terangnya.
Menurutnya, jika tidak dibendungpun juga desa di hulu dan hilir mengalami banjir. Dengan pelepasan air dengan ketinggian 1,5 meter di semua pintu air, menjaga agar desa di hulu dan hilir tidak terlalu terendam banjir.
"Untuk peringatan, proses pembuangan air bendungan akibat over capacity sudah terjadi bertahun-tahun. Kita sebelum membuang air bendungan, sudah memberikan peringatan kepada warga desa yang dilalui air buangan bendungan melalui tetua desa, ninik mamak, tokoh masyarakat dan perangkat desa," terang Sarno.
Disinggung mengenai solusi, Sarno mengatakan bahwa itu permasalahan bersama dan perlu duduk bersama di semua lembaga terkait agar mendapatkan solusi yang tepat. Namun, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan reboisasi dan menghutankan kembali kawasan di sekitar PLTA Koto Panjang yang sebagian gundul dan sebagian sudah menjadi kebun sawit warga.
Selain itu, tambahnya, perlu adanya pengertian pemerintah untuk usaha keramba. Karena usaha keramba itu juga membantu terjadinya sedimentasi (pendangkalan sungai). Karena usaha ikan keramba menebar pakan ikan higga beratus kilogram perhari yang tidak termakan semua oleh ikan. Sisanya menjadi endapan di dasar sungai yang membuat sungai menjadi dangkal jika dilakukan berkesinambungan. Rtc