Desa Batu Sasak Riau Dalam Kondisi Menyedihkan

Kampar, Inforiau.co - Kakinya penuh lumpur saat memasuki sebuah bangunan papan 2 pintu yang terletak sejajar menghadap kebahagian utara, didalam bangunan 4 x 5 meter tersebut tampak seorang wanita muda sesekali berteriak memanggil dengan lantang, berharap bocah-bocah yang tadinya asik bermain dengan belalang rumput agar segera masuk dan mengisi kursi yang tidak lagi berdiri kokoh karena rapuh dimakan usia.
Namanya adalah Arosel atau yang akrab disapa Rosel. ibu muda dari 2 orang anak yang masih balita tersebut harus berpacu dengan waktu agar sampai sekolah tepat waktu, anak-anaknya yang masih kecil harus ia tinggalkan dirumah demi memastikan belasan anak disekolah yang ia didik bisa terjamin masa depannya.
Arosel mengabdikan dirinya tidak hanya sebagai pengajar, tapi melainkan pendidik. Ia mewakafkan dirinya dengan segala ilmu yang ia miliki, sebab ia sadar bahwa mendidik itu tidak cukup hanya menjadi seorang guru melainkan ia harus menjadi seorang ibu disekolah tersebut.
Meskipun banyak pasang mata yang melihatnya setiap hari menapaki lelumpuran jalanan menuju gubuk tempatnya bertandang, tapi banyak yang tidak tau bahwa kandang tempatnya bertandang tersebut adalah tempat 15-an bocah-bocah kecil menuntut ilmu agar bisa cerdas seperti anak-anak lainnya diperkotaan.
Saat wartawan menghampiri Arosel, saat itu ia sedang mengajar Matematika dihadapan belasan murid yang duduk saling berdempetan. kami melihat dengan jelas sebahagian anak-anak tersebut harus duduk diatas lantai tanah, karena kursi yang mereka duduki tidak cukup menampung jumlah mereka.
Tidak hanya kursi, meja-meja bolongpun turut menghiasi sekolah ini, meja yang ada diruangan tersebut hanya 4 yang layak digunakan, selain itu Arosel yang menjadi pengajarpun harus pandai memainkan tangan saat menulis dipapan tulis, karena dibahagian kiri papan tulis itu hanya tinggal setengah akibat rapuh dimakan usia. Sangat miris melihatnya, namun inilah kondisi sekolah tersebut.
Saat kami mewawancarai Arosel, raut wajahnya sedikit bingung dan gugup, sesekali wanita berjilbab ini menutup mulutnya saat bicara dan bahkan berkali-kali menunduk dan tidak berani menatap mata kami, kami tidak tahu kenapa ia malu, apakah karena kakinya penuh lumpur seperti anak didiknya yang juga berlumpuran dan tidak memakai sendal karena hari hujan, atau ia tidak terbiasa menghadapi orang baru sebab menurut masyarakat disana jarang sekali orang baru ataupun pemerintah datang kesana walau hanya sekedar melihat-lihat sekolah tersebut, namun karena kami membawa salah satu tokoh masyarakat disana, akhirnya Arosel pun tampak mulai membuka diri.
Kami bertanya tentang seputaran sekolah tersebut, kami mencoba menggali lebih dalam tentang kondisi yang harus ia tempuh saat harus menjadi tenaga pendidik disekolah yang ia besarkan tersebut.
Saat itu Arosel menceritakan bahwa sekolah ini adalah sekolah MARJINAL yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat setempat, sekolah tersebut sebenarnya dikhususkan untuk anak-anak yang berada diwilayah dusun Sialang Harapan desa Batu Sasak kecamatan Kampar Kiri Hulu, kabupaten Kampar, karena akses yang jauh dan jalan yang tidak layak menuju desa Batu Sasak, akhirnya masyarakat secara swadaya membangun sekolah tersebut untuk membantu anak-anak yang jauh dari sekolah induk SD 010 desa Batu Sasak.
Selain Arosel, disekolah tersebut ia dibantu oleh salah seorang temannya bernama Asmawati yang setiap hari menemaninya mengajar disekolah tersebut, sama halnya dengan Arosel, Asmawati yang juga memiliki 2 orang anak, setiap hari harus berjibaku berjalan kaki menuju sekolah MARJINAL tersebut
Subuh-subuh Arosel dan Asmawati harus menjadi ibu rumah tangga guna menjamin keperluan sang suami dan anak-anak tercintanya, saat mataha
ri menyinsing kemudian ia menjelma sebagai guru yang akan menjamin belasan anak didiknya mendapatkan pendidikan yang layak disekolah.
Namun sayangnya semangat Arosel dan Asmawati tidak membuat pemerintah memperhatikan mereka, menurut Arosel sekolah yang dibangun pada tahun 2013 yang lalu tersebut hingga kini tidak tersentuh pembangunan dari pemerintah, gedung yang berukuran 4×10 meter persegi ini dibagi menjadi 2 lokal, setiap lokalnya diisi oleh 10-15 orang murid yang dibimbing oleh satu orang guru.
Selain itu sekolah tanpa papan nama ini berdiri kokoh diatas tanah masyarakat yang sampai sejauh ini masih berstatus pinjaman, sehingga tidak menutup kemungkinan sekolah tersebut sewaktu-waktu bisa diambil kembali oleh pemilik tanah. Dan cita-citanya untuk menjadikan anak didiknya sukses pupuslah sudah.
Saban hari Arosel dan Asmawati selalu mengajar tanpa pamrih, meskipun mendapatkan upah dari pemerintah, upah tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhannya, sebab harga bahan pokok disana tidaklah sama dengan desa-desa yang berada diseputaran kecamatan induk, sebab kalau hari hujan, akses menuju desa mereka terputus dan harga sembakopun melambung 2 hingga 3 kali lipat.
Saat ini Arosel dan Asmawati hanya berharap agar pemerintah bisa fokus dengan sarana pendidikan yang saat ini ditempuh oleh anak-anak didiknya, ia tidak berharap banyak selain bangunan sekolah, meja, bangku dan buku untuk anak-anak didiknya.
“Kami ingin anak didik kami bisa merasakan pendidikan yang sama dengan anak sekolah lainnya, kami ingin mereka mendapatkan kesempatan yang sama, perhatian yang tidak berbeda dan senyum serupa dengan anak-anak lainnya diindonesia” tutupnya.Ir/vie/rbi.