Khashoggi dan Media Kita

Jamal Khashoggi, entah terbuat dari zat apa nyali jurnalis satu ini. Kerap mengkritisi tirani di negeri sendiri. Terusir, dan memilih benua seberang untuk menumpah ruah kan segala keganjilan, yang menurutnya tak mesti ada lagi.
Namun dalam bulan ini, jasadnya menghilang seperti ditelan gaib nya segitiga bermuda. Lenyap. Dunia pun hiruk pikuk. Setakat ini, Monarki Saudi menjadi pihak yang dipersalahkan. Di bius lalu di mutilasi, disebut sebagai cara melenyapkan jejak keberadaannya. Tuduhan keterlibatan Putra Mahkota Saudi ditangkis dengan sejuta alibi.
Turki, negeri peraduan timur dan barat sebagai lokus kejadian tak tinggal diam. Erdogan bersumpah mengerahkan investigasi menyeluruh, konsulat digeledah. Pengakuan dari Riyadh berangsur diberikan, setelah bukti dan tekanan tak henti dari berbagai belahan bumi.
Akhir dari kisah ini, bisa saja membuat tampuk kekuasaan bagi sang putra mahkota yang sudah didepan mata itu pupus. Atau, hanya berakhir di meja-meja perundingan, dengan hujan bantuan dari ladang-ladang minyak Arab Saudi bagi negara-negara yang terlalu latah mempersoalkannya.
Benarlah apa yang dikata Anis Matta, selain Partai Politik, Kampus, dan LSM, Media dengan segala perangkatnya merupakan kekuatan masyarakat sipil untuk menjaga tetap warasnya tata pemerintahan dan negara. Juga sebaliknya, peran media juga bisa membuat tipu daya mengelabui publik.
Di Indonesia, genitnya colekkan media juga pernah membuat penguasa alergi. Buya Hamka dengan Panji Masyarakat nya dibredel Soekarno. Bahkan yang sampai meregang nyawa juga tidak sedikit. Sebut saja Syafruddin, wartawan Bernas, karena guratan penanya, seketika membuat jasadnya berkalang tanah. Rezim The Smiling General dituduh sebagai otak pembunuhan, walaupun sampai detik ini tak ada titik terang pengungkapan kasus.
Masa kekuasaan Bj Habibie yang seumur jagung, kuli tinta seperti lepas dari pasung yang membelenggu puluhan tahun. Namun disaat yang sama, hingga saat ini, media mainstream dirangkul kedalam bilik-bilik perselingkuhan. Jurnalisnya pun mau tak mau terpaksa menurut irama dan lenggok si empunya.
Sehingga tidak heran kemudian, seorang wali kota dipoles oleh media dengan tipu-tipu Esemka nya, bisa menjadi pemimpin ibu kota. Tak lama, masuk keluar gorong-gorong lalu disulap menjadi kepala negara. Ajaib.
Memang afiliasi media massa dengan penguasa sebuah keniscayaan, tentu dengan kadar yang bertingkat. Tapi ketika media sudah berkolaborasi dengan politik, bahkan konglomerasinya dimiliki penguasa politik, jelas hak publik akan informasi menjadi sumir.
Pesta pora yang menghabiskan triliunan rupiah, penanganan korban bencana yang lamban, dan merosotnya mata uang, bisa ditutup sekaligus dengan satu drama kebohongan seorang masyarakat sipil. Digempur 24 jam, dari pakar ekspresi hingga politisi alay pun diminta pendapatnya. Remuk seketika reputasi aktivis gaek itu.
Akhir hidup Khashoggi mungkin tragis, suatu yang bisa saja terjadi dimana pun. Tetapi ada bencana yang lebih mengerikan dari itu, yakni, ketika media tidak lagi seperti anjing yang menggonggong disaat ada ketidakwajaran yang dilihatnya. Tapi hanya seperti kucing tetangga yang usai mendapatkan sepotong ikan asin, dengan manja mengelus-elus telapak kaki yang berkubang.
Oleh : Alwira Fanzary Indragiri
Ketua OKP Lingkar Anak Negeri Riau/ Jurnalis