Sudah Saatnya Diganti, Guru Besar UI: KUHP Itu Sudah 100 Tahun Peninggalan Kolonial Belanda

Sabtu, 06 Agustus 2022 18:32:24 281
Sudah Saatnya Diganti, Guru Besar UI: KUHP Itu Sudah 100 Tahun Peninggalan Kolonial Belanda
Ilustrasi

Inforiau - Guru besar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Hakristuti Hakrisnowo menegaskan sudah saatnya Indonesia memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) buatan sendiri. Hal ini mengingat KUHP yang berlaku sekarang sudah berusia lebih dari 100 tahun dan merupakan peninggalan Belanda.

“Kalau kita berpikir, KUHP umurnya sudah lebih dari 100 tahun, dan itu peninggalan kolonial Belanda. Jadi sudah masanya kita punya KUHP nasional yang memang dibuat oleh orang-orang Indonesia,” kata Hakristuti Hakrisnowo, Sabtu (6/8/2022).

Hakristuti menerangkan, dalam KUHP yang sekarang ini terdapat 628 pasal. Adapun, isinya lebih banyak pembaruan terhadap hukum pidana di Indonesia. Dengan demikian, penerapan sanksi pidana dinilai menjadi tidak terarah pada satu pola tertentu. Hal itu dikarenakan setiap ada undang-undang, ada sanksi pidananya.

"Ini yang mau kita bereskan agar tidak terjadi bermacam-macam interpretasi, macam-macam pikiran, macam-macam sistem, jadi nanti hanya ada satu hukum pidana, itu yang penting. Bukan pasal per pasal, tetapi sistemnya dulu yang kita bangun. Itulah kenapa urgensi yang diperlukan sehingga mengapa RUU KUHP ini perlu mendapat perhatian semuanya," ujar Hakristuti Hakrisnowo.

Dijelaskannya, penyesuaian yang sedang ingin dibangun dalam RUU KUHP tersebut, terlihat dari jumlah pasalnya. Bila dalam KUHP produk peninggalan Belanda yang dipakai sekarang ini, dalam buku pertama berjumlah 103 pasal. Sedangkan dalam buku pertama RUU KUHP, jumlah pasalnya hampir dua kali lipat, yakni 187 pasal. Dalam buku I RUU KUHP tercantum mengenai tujuan pemidanaan, landasan pemidanaan, dan hal lainnya. Dengan demikian, tidak bisa hanya baca beberapa pasal per pasal tanpa memahami pemidanaan yang terdapat pada buku I RKUHP.

"Jadi di sana banyak sekali pembaruan-pembaruan yang berkaitan dengan apa itu tujuan pemidanaan, apa yang menjadi landasan untuk penjatuhan pidana, bagaimana pidana dijatuhkan, faktor-faktor apa saja yang perlu dipertimbangkan oleh hakim, bagaimana hal-hal yang direkomendasikan di mana sanksi pidana penjara itu tidak perlu dijatuhkan," terang Hakristuti Hakrisnowo.

“Semua itu ada di buku pertama, itu pembaruannya. Jadi orang tidak bisa baca beberapa pasal per pasal. Utamanya ada di buku pertama KUHP, yang dulunya 103 kemudian di RKUHP ada 187 pasal. Jadi hampir 90% penambahannya,” lanjutnya lagi.

Kendati demikian, Hakristuti tidak mengatakan RUU KUHP lebih sempurna dari KUHP yang sekarang ini. Hal ini karena RUU KUHP masih buatan manusia. Untuk itu, ruang dialog dan komunikasi dengan masyarakat terkait penyusunan RUU KUHP masih terbuka lebar.

“Jadi bukan harga mati memang,” tutur Hakristuti Hakrisnowo.

Menurutnya, perbedaan antara RUU KUHP dengan KUHP yang sekarang hanya bisa dirasakan oleh ahli hukum. Sementara, orang awam hanya menyoroti pasal-pasal yang kontroversial dalam RUU KUHP, seperti penghinaan presiden, perzinaan, dan lain-lain.

"Orang awam tidak akan melihat apa sih perbedaannya, tetapi bagi ahli hukum pasti lihat perbedaannya, bisa dibaca di 187 pasal tersebut. Intinya itu saya bilang ada tujuan pemidanaan, tujuan penjatuhan pidana, ada denda yang tidak dimasukan nominal misal denda Rp 5 juta, adanya denda kategori I, kategori VIII, itu pembaruan," papar Hakristuti Hakrisnowo.*

KOMENTAR