Bukan Kolonialisme Jawa, Lawan Kita Kolonialisme Jiwa

Sabtu, 25 Juni 2016 12:07:00 1079
Bukan Kolonialisme Jawa, Lawan Kita Kolonialisme Jiwa
Abuzar, SH
Penulis : Abuzar, SH *
 
Jika ada orang merasakan bahwa saat ini terjadi kolonialisme Jawa atas masyarakat luar Jawa, adalah salah satu pandangan subjektif yang mempunyai alasan pembenar. Orang tersebut bisa saja beralasan di Indonesia sampai saat ini belum ada satupun presiden (yang benar-benar memimpin) secara sah dan legitimate) yang berasal dari luar Jawa atau bukan orang Jawa. Jika pernah ada Habibie dari Sulawesi, itupun melanjutkan kekuasaan dalam masa transisi kekuasan yang genting, karena sesuatu hal yang sifatnya insidentil. 
 
Kekuasaan orang Jawa dalam implementasinya yang direfleksikan oleh Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan saat ini Joko Widodo, telah melakukan ekspansi besar-besaran ke luar Pulau Jawa untuk menyebar secara massif orang-orang Jawa ke seluruh penjuru pulau dalam gugusan Nusantara. Dalam praktek kekuasaan pemerintahannya juga, hampir dalam beberapa dekade pemerintahan, semua petinggi militer didominasi oleh orang Jawa, sampai ke Kapolda dan Danrem di seluruh Indonesia didominasi oleh orang Jawa, walaupun ia memimpin di suatu wilayah bukan didominasi orang Jawa.
 
Bagi orang Melayu khususnya, dan suku lainnya di luar Jawa seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua umumnya, keadaan ini menjadi isu politik yang sangat jitu dan ampuh untuk dijadikan argumentasi bahwa telah terjadi ekspansi kekuasaan (imperialisme) Jawa terhadap luar Jawa. Jika fakta ini yang mau dijadikan ukuran, maka argumentasi ini tak terbantahkan !
 
Jawa juga dipersepsikan sebagai masyarakat urban yang telah mengirim transmigran dalam jumlah besar ke luar pulaunya, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Papua). Kenyataan ini merupakan fakta yang telah terjadi dan dialami oleh generasi Indonesia setelah atau pasca kemerdekaan 1945.Walau fakta lain, bahwa kepindahan orang Jawa sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan, namun tidak dalam jumlah besar. Orang -orang yang berpindah sebelum kemerdekaan atau sebelum kebijakan pemerintah Soeharto melakukan transmigrasi, merupakan orang-orang yang mempunyai misi lebih murni dalam hidupnya, dan atau lebih karena dorongan murni untuk merubah nasib sebagai manusia normal, dan dominan mereka mempersiapkan diri secara lahir bathin untuk hidup di tanah baru . Di tanah Malaya (Malaysia) bahkan orang Jawa telah dahulu menginjakkan kakinya sebelum kemerdekaan Malaysia, sebelum Soekarno berteriak ganyang Malaysia, hingga tercatat menjadi bagian penting pergerakan bangsa Melayu Malaysia dalam perjuangan bangsa baik pra maupun pasca kemerdekaan.
 
Kebijakan pemerintah Indonesia melakukan trasnmigrasi orang-orang Jawa ke luar Jawa di Indonesia, pada masyarakat luar Jawa menimbulkan pro dan kontra. Sebagian menerima dengan alasan dapat berperan sebagai katalisator pembangunan, dan untuk memberdayakan orang-orang yang sudah tak mempunyai lahan lagi untuk diolah, agar dapat melanjutkan kehidupannya dengan lebih layak dan manusiawi, serta dapat meningkatkan kualitas hidupnya di daerah baru.
 
Karena alasan kemanusian lah maka kedatangan orang-orang Jawa dapat diterima di seantoro pulau di Indonesia. Lalu apakah sekedar itu alasannya, bukan ! alasan lain dan sangat kuat ialah karena rakyat tempatan atau penduduk asli yang mendiami atau sebagai pemegang kekuasan secara adat wilayah lokasi transmigran, juga tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, karena kekuasan pemerintahan yang dipegang oleh orang Jawa ( baca : rezim Soeharto) masih kuat pada masa itu, yang kebijakannya sangat sulit untuk dilawan.
 
Tentu sebagaimana ajaran agama yang haq, kedatangan orang Jawa ke luar Jawa harus membawa dampak positif baik bagi dirinya maupun lingkungan barunya, sebagai rakyat ia harus membaur dengan masyarakat sekitar, jika sebagai tentara ia tidak semena-mena dan berbuat zalim, dan sebagai hakim atau bendahara ia haruslah bersikap adil dan benar.
 
Orang Melayu tentu tidak senang melihat oknum tentara atau polisi yang sewenang wenang, yang tidak bermoral, hingga menjadi oknum pembeking tempat-tempat maksiat seperti perjudian serta prostitusi, ataupun seorang bendahara serta hakim yang sombong serta menumpuk kekayaannya dengan cara menerima suap, korupsi dan cara-cara curang lainnya.  
 
Orang Jawa juga tidak ingin kehadiran orang-orang luar Jawa baik sebagai dosen, pengusaha, pedagang  maupun hakim hakim di Jawa bersikap sombong, individualis dan berbuat tidak adil dalam amanah jabatannya. Tentu orang Jawa yang beradab dan jujur sangat tidak suka itu. Begitupun sebaliknya bagi orang orang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang berharap jika ada seorang pimpinan lembaga yang ditugaskan memimpin di daerah mereka, haruslah berbuat adil bagi masyarakat, benar dalam sikapnya dan memberikan contoh yang baik dalam masyarakat. Dia mestilah berbaur dengan masyarakat, menghargai masyarakat dan tata krama luhur mereka, serta adil dan benar dalam ucapan dan perbuatannya. Itulah sebenarnya cita-cita luhur dan cita-cita mulia kita semua sebagai manusia ciptaan Allah SWT.
 
Juga seperti sikap pribumi yang membenci pedagang-pedagang keturunan Cina atau Tionghoa, itu bukanlah sikap yang benar. Bukanlah ajaran Islam membenci seseorang karena keturunannya, asal-usulnya. Bukanlah karena ia keturunan Tionghoa yang menjadi alasan pribumi membenci pedagang pedagang itu, tapi siapapun pedagang yang berdagang dengan licik, dengan cara curang dan menipu harus dibenci. Mereka harus dilawan dan diluruskan. Tak kira Tionghoa atau pribumi, Cina, Bugis, Minang, Jawa atau Melayu. Yang haq harus ditegakkan.
 
Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap hijrahnya seseorang atau kaum ke suatu tempat atau wilayah baru dengan maksud baik, demi mengubah keadaan hidupnya? Islam sudah jelas merupakan agama yang Rahmatan lil Alamin. Maknanya nilai-nilai Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam sangat manusiawi memperlakukan manusia. Islam bukan karangan manusia, tapi karangan si Pemilik Alam, Ia yang mempunyai dan menguasai langit dan bumi, dan Dia juga penguasa diantara keduanya.
 
...bersambung..

KOMENTAR