Bupati Jembatan

Rabu, 12 Juli 2017 11:28:26 1115
Bupati Jembatan
Oleh Saidul Tombang
 
Sebelum Azis bertemu Catur, jauh sebelum pemilukada Kampar, Azis Zaenal sudah mendeklarasikan sebagai bupati jembatan. Tagline yang dia angkat memang sangat sederhana; membangun jalan dan jembatan. Saat itu banyak yang memandang sebelah mata; masa iya calon bupati punya tagline membangun jalan dan jembatan.
 
Walau kemudian tagline perjuangan mereka disempurnakan menjadi 'Kerja, Kerja, Kampar Maju!', namun julukan bupati jembatan kembali melekat kepadanya setelah menjabat. Paling tidak itu tergambar ketika dia menyusuri Sungai Kampar awal pekan ini. Dia bertekad, di masa kepemimpinannya periode ini, dia akan membangun sekitar 25 jembatan yang membentang dan menghubungkan satu tebing dengan tebing lainnya.
 
Apa arti jembatan selain memperlancar arus transportasi? Banyak yang mengatakan untuk meningkatkan ekonomi. Itu benar. Dengan jembatan, lalu lintas ekonomi akan lebih efektif dan efisien. Arus perdagangan akan semakin lancar. Masyarakat tidak lagi bergantung pada alat transportasi tradisional seperti perahu penyeberangan.
 
Tapi, bagi saya jembatan yang dibangun Azis Zaenal bermakna lebih selain soal transportasi dan ekonomi itu. Tahukah kita bahwa di sepanjang tebing Sungai Kampar, Sungai Kampar Kiri, Sungai Tapung, sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu telah berdiam orang-orang Kampar asli? Bukankah di sepanjang tebing itulah berdiri rumah, kampung, desa, dan segala atmosfir asli orang Ocu? Dan, tahukah kita bahwa kemiskinan di Kampar saat ini persentasenya disumbangkan paling banyak oleh masyarakat asli tersebut?
 
Marilah melayari Sungai Kampar, berkunjunglah ke kampung-kampung asli masyarakat. Rumah papan, sanitasi buruk, fasilitas jauh dari kata moderen, dan orang-orang yang memiliki penghasilan rendah akan mudah kita jumpai. Kondisi ini sangat berbeda jika kita ke pusat-pusat perkebunan dan industri yang didominasi oleh kaum urban. Jarang kita jumpai rumah harga semiliar rupiah di rumah tepian Sungai Kampar, tapi akan mudah mencarinya di kampung baru di kebun di angka dua atau tiga miliar rupiah. Jarang kita jumpai mobil Fortuner, Pajero, CRV, atau mobil mewah lainnya di garasi rumah pinggir Sungai Kampar, tapi tidak halnya dengan rumah di pusat-pusat perkebunan.
 
Apa yang terjadi? Itulah, kampung-kampung di bantaran sungai yang notabenenya adalah warga suku asli, selama ini memang kurang terperhatikan. Mereka seperti dibiarkan dengan ketertinggalan. Mereka dianggap biasa hidup susah. Mereka, oleh sebagian pejabat, dianggap sebagai ikan dalam belanga, sudah pasti tidak akan meronta.
 
Sehingga, kebutuhan dasar mereka memang tidak terpenuhi. Salah satunya adalah arus transportasi berupa jalan dan jembatan. Bisakah kita bayangkan kalau masyarakat mulai dari Kuapan, Pulau Birandang, Pulau Rambai, Pulau Jambu, Sendayan, dan lainnya, kalau mau menyeberangi sungai harus ke Danau Bingkuang atau ke Bangkinang dulu. Kalau masyarakat di Gobah, Pulau Luas, Bokuok, Kemang Indah, Aursati, dan lainnya, kalau harus menyeberang ke kampung sebelah harus memutar dulu melalui jembatan Danau Bingkuang yang jaraknya puluhan kilometer.
 
Itulah yang terjadi. Selama ini masyarakat yang berdiam diri di beting dan teluk sungai, yang mendirikan dan membangun Kampar sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, memang terlambat diperhatikan oleh pemerintah. Memang, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang telah membangun beberapa jembatan gantung dan permanen, tapi sekali lagi itu masih kurang dan terlambat.
 
Dan, kini Azis sang bupati jembatan sudah menghilir sungai. Dia sudah berdiri di titik tebing sungai yang akan dibangun jembatan. Jembatan yang akan menghubungkan saudara dari seberang ke seberang. Mereka yang selama ini terpisah oleh derasnya air Sungai Kampar yang telah membesarkan sang bupati, akan dihubungkan dengan jembatan. Saya yakin, azam besar sang bupati adalah sitawar sidingin yang selama ini sudah dirindukan.
 
Kita berharap, supaya 25 jembatan yang direncanakan sang bupati akan terwujud. Amin.. ***

KOMENTAR