Mak mana tempatnya.. Abang dapat ikannya

Minggu, 16 Juli 2017 18:19:53 1958
Mak mana tempatnya.. Abang dapat ikannya
Sungai Siak di Kampung Baru Senapelan dilihat dari halaman Masjid Nurul Iman. Pemandangan sebelah kanan adalah Jembatan Leighton menuju Rumbai
Siang tengah hari, Minggu (16/7/17) cuaca di  Pekanbaru panas terik. Aku memacu kendaraan sepeda motor bututku ke arah Jalan Riau melewati Jalan Soekarno Hatta. Arus kendaraan tampak sedikit lengang dibanding pada hari-hari biasa.
 
Setelah belokan simpang Jalan Soekarno Hata menuju Jalan Riau dan melewati jejeran bangunan pertokoan, mall serta hotel yang semakin rapat, seakan bertarung angkuh menaklukkan ruang terbuka Kota Pekanbaru, aku memutar arah ke kiri laju kendaraanku ke Jalan Kuras tembus ke Jalan Kulim lalu masuk ke Jalan Kapur Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Senapelan. Pembangunan fisik Kota Pekanbaru terus menggeliat dan semakin berkembang.
 
Sesaat melewati Jalan Kapur aku pelankan laju motorku yang memang sudah tertatih-tatih dimakan usia, sambil menoleh ke kanan kiri sekedar melihat-lihat. Tujuanku belum pasti, tapi aku berniat ingin menikmati pemandangan sungai dan menyendiri di tepi Sungai Siak sambil melepas penat. 
 
Sesampai di ujung Jalan Kapur, aku hentikan kendaraan di sudut jalan untuk membeli rokok dan minuman pelepas dahaga, sebelum mencari tempat yang tepat untuk bersantai di tepi sungai sambil melihat-lihat orang memancing ikan. Usai membayar belanjaan kulihat ada tempat yang cukup menarik dan agak lapang untuk beristirahat melepas pandang di pinggir Sungai Siak.
 
Tak jauh dari warung tempatku membeli rokok, ada sebuah masjid yang tampak teduh meskipun tak begitu banyak pepohonan, namun menghadirkan suasana nyaman karena memiliki halaman cukup luas dan pas di pinggir sungai. Aku menuju ke halaman Masjid Nurul Iman tersebut, lalu memarkirkan kendaraan di bawah pohon untuk mulai menghisap sebatang rokok peneman rasa, nikmati anugerah Tuhan akan nafas dan pandang yang indah hari ini.
 
Nun.. sambil menghisap sebatang rokok.. kulepaskan pandang tanpa beban ke segenap penjuru Sungai Siak yang tampak tenang di tengah panas terik siang ini. Subhanallah.. betapa luasnya karunia Mu ya Allah yang maha kaya.
 
Tampak di sisi kananku di kejauhan, Jembatan Leighton dan arus kendaraan bak semut berjalan lalu lalang menuju Rumbai dan sekitarnya.  Di seberang sungai yaitu Jalan Nelayan tampak beberapa orang sedang serius mengamati pancing yang dipasangnya kalau-kalau ada sentakan dari ikan yang menyambar umpan di pancingnya.
 
 
Melihat kedatanganku, anak-anak di sebuah rumah berdinding papan di pinggir sungai ini tampak memperhatikanku. Sambil sibuk dengan keriangannya lalu mereka beranjak dari rumahnya menuju ke dermaga kecil dekat rumahnya, untuk mencari ikan saat kondisi sungai sedang surut. 
 
Ada 3 orang anak yang polos sambil bercengkerama gembira menuju bibir sungai untuk memperhatikan gerakan air di pinggir sungai, memastikan ada ikan-ikan yang muncul untuk mereka tangkap.
 
Setelah memastikan banyak ikan yang muncul ke permukaan, seorang anak laki-laki dari ketiga anak tersebut berbalik ke rumahnya. Ia  menjemput jala ikan untuk dipasang di dalam sungai sekitar dermaga kecil itu. Aku mencoba akrab dengan mereka dengan memberikan sapaan pembuka yaitu senyum yang tulus. Usai senyum tulusku terkoneksi dengan alam suci mereka, lalu aku dapat bertanya sepatah dua patah kata sambil menjaga suasana agar tetap akrab dan nyaman bagi mereka.
 
Alhasil, dari pembicaraan kami dapat kuketahui anak lelaki yang paling tua diantara mereka bernama Rezi Ardiansyah dan berumur 13 tahun. Rezi oleh adik-adiknya dipanggil akrab dengan panggilan bang Eji. 
 
Melihat air sungai yang surut dan gerakan ikan yang meliuk-liuk dan memercik di air tersebut, Eji lalu mulai menyiapkan jala nya. Dari atas dermaga ia turunkan jala nya perlahan sambil disaksikan dua adiknya.
Rezi Ardiansyah yang berumur 13 tahun saat ini duduk di kelas 6 SD Negeri 50 Jalan Kapur, Kampung Baru Senapelan. Pada hari libur ini ia dapat bermain leluasa ke sungai ditemani adiknya Zahara atau dipanggil Tiara yang berumur 8 tahun dan sudah duduk di kelas 2 SD Negeri 18 Jalan Kulim. 
 
Selain itu ada juga Vika, anak yang paling kecil berumur 5 tahun. Mereka tidak canggung bermain di pinggir sungai yang cukup luas ini. 
 
Anak-anak pinggiran Sungai Siak Senapelan ini terlihat riang bermain di pinggir sungai pada tengah hari saat matahari bersinar terik. Pada permukaan air nampak memantulkan rona biru bercampur putih dari langit yang berawan siang itu.
 
Di atas permukaan air sungai tampak beriak, kadang kecil-kadang besar, dan kadang memutar bergelombang.. seperti menggambarkan suasana hati yang kadang tenang, namun sesekali beriak menangkap kilasan kenangan dan asa perjalanan hidup yang hadir timbul tenggelam.
 
Orang tua anak-anak itu bernama Ita Hardianti, tampak asyik dengan pekerjaan nya menjemur pakaian di atas pagar pembatas koridor jalan menuju dermaga. Ia memilin pakaian yang masih basah sebelum dijemurkan di atas pagar. Setelah selesai menjemur pakaian ia berlalu ke rumahnya meninggalkan anak-anaknya yang tak tampak ia khawatirkan, karena ia sudah mengenal betul anak-anaknya dan wilayah bermain yang memang tempat keseharian mereka.
 
Sementara Eji semakin serius memasang jala nya kedalam air di sekitar dermaga pinggir Sungai Siak ini. Saat ia memeriksa jala nya yang barusan ia pasang, seekor ikan ternyata terkena jaring jala yang ia pasang. Dengan riang gembira ia angkat hasil tangkapannya tersebut untuk diperlihatkan kepada saya yang memperhatikannya dari tadi, dan kepada adik-adiknya yang sudah ikut terjun ke dalam sungai sambil berenang gembira melihat abangnya yang mencari ikan.
 
"Dapat ikannya..," teriak Eji kegirangan memperlihatkan jala yang berisi ikan kepada saya dan adik adiknya.
 
 
Melihat abangnya mendapatkan ikan, Zahara atau Tiara berteriak kegirangan memanggil emaknya. Ia yang sedang asyik mandi berenang di sekitar dermaga, memacu gerakan renangnya untuk ke tepi dan naik ke daratan untuk menjemput ember penampung ikan.
 
"Mak.. mana tempatnya.. abang dapat ikannya," teriaknya sembari berlari ke arah rumahnya untuk mengambil ember tempat menampung ikan. Adiknya yang kecil juga terlihat gembira mengetahui abangnya Eji mendapat ikan hasil tangkapan dari jala yang ia pasang.
 
Meskipun tinggal di rumah yang tampak kurang layak, dimana rumah mereka terbuat dari papan dan tampak reot, namun kegembiraan tampak di wajah mereka. Kegembiraan dan hati yang suci polos tergambarkan dari cara mereka menjalani hari-hari. Mereka gembira, dengan tawa yang lepas.. dan raut muka yang jernih.
 
Begitulah gambaran yang saya lihat dan rasakan. Meskipun ada perasaan miris karena saya melihat tempat tinggal mereka tidak layak untuk hidup dengan nyaman dan sehat. Namun apa yang mereka jalani sepertinya tidak menggambarkan apa yang saya rasakan.
 
Tapi sebagai gambaran, rumah yang mereka tempati selain berdinding papan, dengan struktur bangunan yang seperti gubuk, juga terletak persis di bibir sungai. Di bawah rumah lantainya masih tanah dan dikelilingi semak-semak. Pastilah kalau malam nyamuk berseliweran di sekitar rumah dan di dalam rumah. Selain itu mereka juga mandi langsung ke sungai dan menggunakan air sungai sebagai tempat mencuci, mandi, serta tempat pembuangan air kecil dan besar.
 
Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk mengungkapkan sisi vulgar masyarakat pinggiran dengan kesan penderitaan dan kemiskinan, namun aku memang hendak menggugah kesadaran pemerintah agar melihat untuk seterusnya mengambil tindakan, atas kenyataan yang ada. 
 
Semestinya pemerintah memperhatikan kondisi warga masyarakat, yang mereka adalah bagian sah dari penduduk Kota Pekanbaru, namun masih hidup dengan kondisi lingkungan yang belum layak.
 
Saat saya berbicara langsung dengan nenek dari ketiga anak tersebut yang bernama Arniati (57), ia mengatakan bahwa mereka sudah puluhan tahun tinggal di tempat itu. Walaupun mereka mengaku menerima bantuan berupa uang dan makanan dari pemerintah jika ada program bantuan disalurkan, namun terkait kondisi rumah mereka, ia mengaku tidak tahu kenapa mereka tidak mendapat bantuan rumah berupa Rumah Layak Huni (RLH) bagi masyarakat miskin perkotaan yang diberikan Pemko Pekanbaru tahun 2016 kemarin.
 
"Kami pernah dengar ada bantuan pemerintah itu, tapi entah kenapa kami tidak dapat bantuan. Ini rumah anak saya, mereka sudah tinggal disini puluhan tahun. Kalau anak-anak (cucu, red) ada diberikan bantuan termasuk juga beasiswa. Tapi untuk  rumah tidak dapat," ujar Arniati bercerita penuh akrab.
 
Demikianlah sekelumit catatan perjalananku menyusuri sudut Kota Pekanbaru. Semoga ada manfaatnya, setidaknya menjadi kenangan batin tersendiri buat saya.
 
Kampung Baru Senapelan, Ahad 16 Juli 2017
 
Abuzar
 
 

KOMENTAR