Mengilmiahkan Pengalaman Mistis

Sabtu, 05 Agustus 2017 19:36:43 1691
Mengilmiahkan Pengalaman Mistis
“Akal pun jika tidak diterangi oleh cahaya cinta, tidak akan dapat mencapai kapasitas idealnya.” - Mulla Shadra
Modernisme memberikan dampak yang luar biasa ke hampir seluruh tradisi keilmuan, tak terkecuali tradisi keilmuan yang berkembang di kalangan Islam. Dengan justifikasi bahwa sebuah ilmu dianggap ilmiah jika bisa dijelaskan secara rasional, maka apa pun yang dianggap irrasional dapat ditolak.
 
Mistisisme menjadi satu-satunya tradisi keilmuan Islam yang mendapat serangan hebat seperti itu. Sebab, ada tudingan bahwa pengetahuan mistis tidak bisa dijelaskan secara logis. Mistisisme terlalu abstrak. Benarkah demikian?
 
Haidar Bagir melalui buku Epistimologi Tasawuf (2017) menegaskan bahwa pengetahuan mistis dapat dijelaskan secara filosofis-rasional sehingga bisa menjadi sumber pengetahuan yang ilmiah. Dengan begitu, Haidar Bagir menjawab golongan yang beranggapan bahwa pengalaman mistis tidak bisa dipahami secara logis dan rasional.
 
Dalam tradisi modern, ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge) cenderung dibedakan. Yang disebut pertama berhubungan dengan pengetahuan yang sebagian atau keseluruhannya diperoleh dan harus bisa diverifikasi secara empiris. Sementara itu, yang kedua dimaknai sebagai intelektualitas yang tidak musti bersifat empiris.
 
Padahal, pada masa pramodern (mengacu pada kebudayaan India, Cina dan Islam) pembedaannya tidak setegas itu, yakni lebih majemuk: empiris, logis atau mistis (hal 46). Mengacu pada pandangan ini, Haidar tidak membuat dikotomi, sebab Alquran sendiri tidak membuat pembedaan terkait kata ilmu (‘ilm), yang bisa mencakup kosmologi, fisika, ekonomi, atau ilmu bahasa. Hal ini juga menegaskan bahwa ilmuwan ('ulama) bukan monopoli ahli hukum Islam (fiqh), sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang Indonesia.
 
Haidar percaya bahwa pengalaman mistis dapat digunakan sebagai metode alternatif memperoleh pengetahuan dengan menggunakan penelitian atas epistimologi Mulla Shadra sebagai pijakan.
 
Lebih jauh, Haidar meyakini bahwa tasawuf dapat menjadi salah satu cara untuk menampilkan wajah Islam dalam upaya menyelesaian isu-isu sosial bangsa Indonesia.
 
Dalam Epistimologi Tasawuf ini, Haidar juga mencoba menyatukan hal-hal yang berserakan kemudian menjadikannya sebuah karya yang sangat layak untuk dijadikan referensi, dikaji serta didiskusikan. Buku ini juga merupakan hasil dari penelitian doktoralnya. Ia mengisi peran sebagai pengkaji tasawuf sebagaimana kecenderungannya terhadap isu-isu yang berkembang di dunia, serta kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat.
 
Guru besar UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat menilai buku Haidar ini sangat membantu menjelaskan hubungan tasawuf dan filsafat secara ilmiah. Sementara itu, guru besar UIN lainnya, Mulyadhi Kartanegara, menyebut  bahwa apa yang dilakukan oleh Haidar Bagir lewat Epistimologi Tasawuf adalah sebuah studi yang brilian dan berani, karena bukan saja menjelaskan secara filosofis pengalaman mistis, namun juga  menawarkannya sebagai sumber sah ilmu pengetahuan.
 
 
Mengutip Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Haidar percaya bahwa metode verifikasi pengalaman relijius secara logis dan empiris adalah metode yang dirintis Nabi Muhammad SAW ketika menyelidiki pengalaman relijius seorang anak muda Yahudi bernama Ibn Shayad. Sayangnya, Haidar tak merinci kisah ini.
 
Haidar mencontohkan pengetahuan tentang hakikat manusia. Pengetahuan tentang ini tidak dapat dijangkau oleh intelek dan indera semata, tetapi harus melalui batin. Hakikat manusia dalam kacamata kaum sufi bergradasi, dari yang sudah tersingkap menyadari kehadiran tuhan hingga yang lebih rendah dari binatang.
 
Pengetahuan diri dan tingkatan manusia ini sulit dicapai kecuali oleh manusia yang sempurna, yang identik dengan iman. Mengutip Mulla Shadra, Haidar menyebutnya sebagai "manusia yang mencapai tingkatan cahaya" (hal 116). Pengetahuan ini hanya bisa diperoleh oleh para sufi (‘urafa’). Bahkan, dalam hal ini, indera dan rasio malah bisa menjadi penghalang bagi pengetahuan tersebut.
 
“Akal pun jika tidak diterangi oleh cahaya cinta, tidak dapat mencapai kapasitas idealnya,” kata Mulla shadra yang dikuti Haidar.
 
Epistimologi Tasawuf akan sangat menarik bagi para peminat studi filsafat dan tasawuf, serta para pembelajar yang ingin menggali lebih dalam khazanah pemikiran keislaman, di tengah kecenderungan sebagian masyarakat yang memahami agama dengan adalah kedangkalan pemikiran, yang dicirikan dengan penyampaian keagamaan yang lebih bersifat doktrinal.rimanews/dhuha
 
editor: asa

KOMENTAR