MK Diminta Menerobos Kekakuan UU Pilkada
Selasa, 05 Januari 2016 20:48:30 1235

Jakarta, inforiau.co - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) harus berani menerobos kekakuan yang terdapat pada Pasal 157 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. UU ini yang mengatur mengenai batas maksimum perbedaan selisih suara 2 persen penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU, yang boleh digugat.
“Sebagai benteng terakhir yang menyidangkan perkara perselisihan hasil perhitungan perolehan suara, MK tidak boleh menempatkan diri hanya sekedar menjadi corong dari Undang-Undang atau lebih populer disebut MK tidak boleh menjadi Mahkamah Kalkulator. MK harus berani mengenyampingkan ketentuan Pasal 157 UU Pilkada ini demi keadilan dan kepastian hukum yang tengah diperjuangkan dengan susah payah oleh para Calon Kepala Daerah dari Sabang sampai Merauke,” ujar Petrus di Jakarta, Senin (4/1).
Petrus menilai sangat mungkin terjadi pasangan calon yang menggugat ke MK melebihi perolehan suara 2 persen. Namun, pemohon dapat membuktikan bahwa selisih di atas 2 persen terjadi pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif. Bisa juga hak hak suara miliknya yang dirampas oleh paslon lain yang bekerja sama dengan KPU dan organ-organ lainnya.
“Karena itu, MK harus berani melakukan terobosan sekaligus merevisi Pasal 157 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tersebut dalam sengketa Perselisihan Hasil Pilkada tanpa masyarakat harus menggugatnya dalam sebuah sengketa Uji Materil terhadap UUD'45,” jelas dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan model menguji undang-undang terhadap UUD 1945 melalui sengketa terkait dengan pelaksanaan undang-undang bukanlah hal yang baru dan tabuh. Pasalnya, dahulu sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen dan melahirkan MK, maka praktek menguji keabsahan pasal-pasal dalam sebuah undang-undang langsung diuji oleh Majelis Hakim di Mahkamah Agung ketika memeriksa sebuah sengketa perdata atau pidana.
“Dalam hal ini, para pihak di dalam perkara yang bersangkutan meminta agar Majelis Hakim dalam pemeriksaan tingkat Kasasi juga menyatakan tidak sah dan batal pasal-pasal dari undang-undang yang brsangkutan dengan pokok sengketa yang diproses oleh Mahkamah Agung,” kata dia.
Oleh karena itu, kata Petrus keliru dan tidak pada tempatnya masyarakat didorong-dorong oleh MK untuk mengajukan uji materil pasal-pasal dalam undang-undang Pilkada yang bertentangan dengan UUD 1945, terutama ketentuan yang mengatur batas maksimun selisih suara yang boleh digugat, yaitu 2 persen. Karena selain tidak adil, juga merugikan hak demokrasi rakyat yang telah berpartisipasi dalam pilkada dan pemilu lainnya.
Dia mencontohkan kasus sengketa pilkada Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT di mana selisih suara yang disengketakan pada waktu itu mendekati 50 persen. Dalam kasus tersebut, suara paslon Bupati Kornelis Kodimete dan wakilnya dimanipulasi oleh KPU Kabupaten Sumba Barat Daya.
“Dan hal itu bisa dibuktikan secara pidana, di mana Komisioner KPU Kabupaten Sumba Barat Daya selain dipecat oleh DKPP juga dipenjara akibat kecurangan yang dilakukan untuk memenangkan paslon lainnya,” ungkap dia.
Petrus juga menilai realitas dalam masyarakat di mana pelanggaran Pilkada dilakukan secara terbuka, tanpa hukum mampu meredam atau memperkecil inilah yang tidak dipertimbangkan oleh DPR. Selain itu, katanya DPR bisa saja dengan sengaja menciptakan ruang untuk bisa merekayasa kemenangan melalui pelanggaran hukum ketika menyusun UU Pilkada dengan 4 (empat) kali perubahan.
“Namun hasilnya, jauh dari mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkeadilan,” pungkas dia. BSC