Om Telolet Om!

Kamis, 22 Desember 2016 09:04:03 744
Om Telolet Om!
Saidul Tombang

Bahagia tak selalu berbiaya tinggi. Ketika sebagian orang harus membayar mahal untuk sebuah senyuman, ada kelompok lain yang bisa terkekeh karena hal sepele. Seperti Mail bin Mail di serial Upin dan Ipin, bahagia baginya cukup sederhana, ''Ketika dikau duduk temenung, lalu nampak duit teselet entah punya siape...''


Tapi akhir-akhir ini bahagia seperti barang langka. Kepentingan dan tingginya tekanan telah menaikkan tensi semua orang. Budaya maki, membuka aib, sampai beking-bekingan telah menjadi budaya baru yang  masif dan permisif di Indonesia.

Hidup yang selambe sambil bersejuntai di nirwana budaya, sudah tak bisa lagi dinikmati.


Dalam kehidupan kekinian, kita sering dihadapkan pada roman muka yang tegang. Bahasa-bahasa kasar. Ambigu. Hipokrit. Apakah Indonesia terbawa aura Ahok yang suka berteriak dan memaki? Atau aura Jokowi yang seperti tiada peduli dengan beragam aksi? Kita seperti tak menemukan model yang patut dicontoh di negeri ini. Karena, setiap siapa dan apa, selalu dikaitkan dengan mengapa dan untuk apa. Terlalu banyak kepentingan. Sehingga apa dan siapa bergantung kepada kepentingan apa dan untuk siapa. Tak ada yang linear. Seperti kita tersesat dalam serabut berkabut.


Indonesia kini dibungkus pada suatu kantung entah milik siapa. Kita buta dan tidak mengerti dengan skenario dan apa maunya sutradara. Siapa kawan dan lawan pun dilebur sehingga kita tak bisa berbuat apa-apa. Seorang teman yang tersesat ikut bertanya, apakah ini akibat revolusi mental yang masih belum sempurna dan cacat bawaan?


Maka, ketika negara tidak hadir dalam kepastian, rakyat pun terkadang mencari jalannya sendiri untuk mendapatkan bahagia. Seperti ribuan anak muda di sepanjang jalan Pantura Jawa, mereka akhirnya menemukan bahagia hanya dengan klakson berbunyi 'telolet' dari supir bus yang melintas. Mereka berjejer di sepanjang jalan dan persimpangan, hanya untuk mendapatkan perhatian supir dan menghadiahkan 'telolet' kepada mereka.


''Om, telolet om!'' teriak mereka dalam untaian kata di kertas-kertas lusuh.


Bagi anak muda Pantura, 'telolet' adalah hal terindah yang terkadang tidak mereka dapatkan pada negara.


Apalah arti selarik telolet dalam bingkai hidup yang kusut ini. Tak bernilai rupiah, tak bermodal keringat kerja, dan tentu saja didapat dengan tidak sengaja pada awalnya. Tapi, telolet telah menghubungkan bathin anak muda dengan supir bus yang melintas. Mereka memang tak saling kenal, tapi selarik telolet telah membungkus hati mereka dalam kebahagiaan yang secuil namun sangat berharga.


Benar kata Mail bin Mail, bahagia tak selalu mahal, terkadang hanya uang teselet alias terselip yang entah punya siapa. Kecil angkanya tapi besar nilainya.


Ini yang terkadang tak bisa dihadirkan negara pada rakyatnya. Wajah tegang, beringas, dan penuh tipu daya, telah membuat kita terpisahkan oleh jurang ketidakpercayaan yang sangat dalam. Seandainya pemerintah kini menyadari, sapaan telolet yang tidak seberapa namun penuh keakraban itu, sebenarnya adalah rabithah yang luar biasa.


Kemana negara? Kalau negara tidak hadir pada rakyatnya, akan kemana rakyatnya? Entahlah!***

KOMENTAR