Sisa Peradaban Melayu Islam di Tanah Champa
Diangkat dari tulisan asli dengan judul : Sisa Puing 'Tuhan' di Tanah Champa
Oleh Saidul Tombang
Ho Chi Minh, jumlah penduduk kota ini imbang-imbang dengan Jakarta. Kalau siang bisa di atas 15 juta orang. Tapi kalau malam di kisaran 10 juta saja. Inilah kota terbesar di Selatan Vietnam. Sedangkan di utaranya ada Hanoii yang merupakan ibukota negara republik komunis itu.
Ho Chi Minh diambil dari nama Paman Ho, tokoh sentral komunis di Vietnam. Dan begitulah zaman berubah. Sekali banjir bandang sekali tepian berubah. Penguasa baru di jazirah ini telah mengubah segalanya. Termasuk mengubah Saigon yang mendunia itu menjadi Ho Chi Minh City. Dan segala kebijakan perubahan itu tentulah berkait erat dengan kampanye dan upaya pemerintah memperdalam tancapan kukunya di sana.
Yang berubah bukan hanya Ho Chi Minh. Di sepanjang 370 km perjalanan Saigon, mari sebut namanya demikian, menuju Paduranga, tak sebuah masjid pun kami temui. Tak sedikitpun tapak Islam dan Melayu terlihat. Padahal, ini dulunya tanah Melayu. Tanah Islam. Wilayah yang dikuasai beratus tahun oleh Kerajaan Champa, kerajaan Islam yang terkenal itu. Sehingga, shalat subuh yang kami lalui mestilah dilakukan di dalam mobil yang
sedang melaju kencang. Tentu saja dengan diiringi lagu Vietnam yang monoton itu.
Masjid pertama kami temui adalah Jamiatul Muslimin, di Paduranga, setelah tujuh jam naik van. Ini adalah satu dari hanya empat masjid di kawasan yang dulunya kawasan utama Kerajaan Champa. Kami disambut penuh sukacita, gegap gempita, oleh penduduk muslim yang tidak seberapa. Tanpa diminta dan diberi tahu sebelumnya, mereka menyambut kami dan mengajaknya sarapan bersama.
Di sini, kami diajari harus cerdas membedakan Cham Islam dan Cham Bani, juga Cham Hindu. Mereka sama-sama orang Cham yang merupakan pewaris bangsa Cham yang hilang. Tapi yang benar-benar menjalankan syariat Islam hanyalah Cham Islam. Sedangkan Cham Bani masih melaksanakan Islam setengah-setengah Syahadatnya penuh tapi shalatnya sekali sepekan. Hanya jumatan saja. Alqurannya dimulai dengan alfatihah, tapi tak penuh 30 juz dan dicampuradukkan dengan hadits dan doa-doa. Ini adalah salah satu potret Islam yang sumbing, yang mesti dibimbing.
Apapun, tanah Cham adalah bukti sejarah yang blur. Sejarah yang menyisakan puing-puing keagungan nama Allah yang tinggal tidak seberapa. Inilah kerajaan yang hilang. Yang dibenamkan bersama darah dan air mata. Di sepanjang tanah subur ini kami hanya melihat gagahnya bendera merah dengan sebuah bintang di sudutnya. Terkadang di sampingnya juga tertancap dengan sengaknya bendera dengan lambang palu arit di tengahnya.
Di tanah Champa, yang meliputi nyaris seluruh Vietnam Selatan dan sebagian Kamboja, memang bukan hanya masjid yang rata tanah. Kehidupan beragama pun jauh dari kata merdeka. Propaganda pemerintah yang dikuasai komunis sangat efektif menekan keberagaman dan keberagamaan. Pemerintah masuk ke semua sistem terkecil di tengah masyarakat, termasuk sebagai mata-mata dalam beragama. Maka jangan heran yang memakai baju gamis, yang berjanggut, yang bercelana cingkrang pun, patut dicurigai keislamannya. Apakah benar-benar beriman atau berfungsi sebagai mata-mata pemerintahan.
Kami, sampai saat tulisan ini dibuat, tidak bisa memastikan sedang berada dalam kondisi aman. Karena di sini bukan hanya tembok yang bertelinga, telinga asli manusia pun juga berfungsi ganda. Apakah hanya sekadar mendengarkan, atau justru mendengarkan kemudian melaporkan. Mereka ada dimana-mana. Di kedai kopi, di persimpangan jalan, di pertemuan dakwah, bahkan bisa jadi di bilik rumah Anda sendiri. Jangankan kami sebagai pendatang, terkadang mereka yang merupakan penduduk asli pun tak bisa membedakan siapa kawan siapa lawan.
Islam memang tak seperti Hindu di Vietnam. Pemerintah nampaknya lebih faniliar kepada Hindu karena mereka dianggap tidak berbahaya. Sedangkan Islam, walau secara formal tidak ada pembatasan, tapi pasa kenyataannya tidak demikian. Kata Islam, Champa, dan juga Melayu adalah phobia yang luar biasa bagi mereka yang berkuasa.***