WALHI, Cahaya di Tengah Kegelapan, Perjuangan untuk Keadilan Ekologis

Jakarta, Inforiau.co – WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) hadir sebagai sumber cahaya di tengah kegelapan oligarki kapitalis dan rezim otoriter yang merusak alam sekaligus mempersempit ruang demokrasi. Hingga kini, organisasi lingkungan terbesar di Indonesia itu tetap konsisten membangun gerakan perlawanan terhadap kapitalisme ekstraktif dan memperjuangkan keadilan ekologis.
Oligarki politik dan bisnis yang saling bergandengan tangan telah mengeksploitasi sumber daya alam secara masif, mengabaikan hak asasi manusia (HAM), serta memperburuk ketidakadilan. WALHI menegaskan komitmennya untuk terus mendorong pemulihan Indonesia dari luka-luka ekologis yang mendalam.
Konteks perjuangan WALHI tak bisa dilepaskan dari “triple planetary crisis” yaitu perubahan iklim, polusi yang merajalela, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Menurut WALHI, krisis ini bukanlah bencana alam semata, melainkan akibat dari era “capitalocene”, di mana logika kapitalisme yang dijalankan elit bisnis dan politisi menjadikan alam sebagai mesin keuntungan tanpa batas.
Krisis tersebut nyata terlihat di berbagai daerah: Papua dirampok hutan dan tambangnya; Maluku dan Sulawesi hancur oleh hilirisasi nikel; Bali serta Nusa Tenggara tercekik industrialisasi pariwisata dan tambang; Jawa runtuh akibat industrialisasi masif; sementara Sumatera dan Kalimantan porak-poranda oleh industri kehutanan dan sawit. WALHI menekankan bahwa strategi advokasi harus kontekstual agar benar-benar efektif.
Lebih jauh, WALHI menyoroti rezim otoriter yang berkolaborasi dengan kelompok bisnis-politik, memperkuat ketidakadilan hukum. Hukum yang seharusnya melindungi rakyat justru dijadikan alat penindasan dan legitimasi eksploitasi. Di sinilah WALHI mengambil peran bukan hanya sebagai pejuang lingkungan, tetapi juga sebagai “rumah gerakan rakyat” yang menyatukan berbagai elemen sosial serta menghubungkan isu lokal dengan global.
Ke depan, WALHI menyiapkan agenda besar bertajuk “EKOLOGIS” dengan tujuh pilar strategis, di antaranya: pengarusutamaan keadilan ekologis dalam kebijakan publik, penguatan demokrasi, nilai keadilan gender serta antargenerasi, pendidikan kritis untuk kader, pembangunan narasi penolakan kapitalisme berbasis pertumbuhan, dan pembentukan blok politik kerakyatan dari masyarakat sipil.
WALHI menegaskan bahwa strategi kolektif, terkoneksi, dan transformatif menjadi kunci gerakan. Termasuk di dalamnya advokasi terpadu, perlawanan sistemik, serta investasi jangka panjang dalam kaderisasi dan riset ilmiah. Penguatan kapasitas kelompok perempuan juga menjadi bagian penting untuk memastikan gerakan yang inklusif dan berkeadilan.
“Pendekatan ini bukan utopia belaka, melainkan roadmap konkret menuju transformasi pola ekonomi dan politik ekstraktif menuju kedaulatan rakyat serta tatanan sosial-ekologi yang berkelanjutan,” demikian ditegaskan WALHI.
Akhirnya, WALHI menekankan bahwa hanya melalui kerja kolektif dan solidaritas, krisis ekologis global dapat dijawab. “WALHI bukan sekadar menyelamatkan alam, tetapi berjuang mengembalikan wajah demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Di tengah kegelapan oligarki kapitalis, WALHI adalah cahaya yang kita butuhkan. Saatnya masyarakat sipil bangkit, sebelum terlambat.”
Boy Jerry Even Sembiring, Calon Direktur Eksekutif Nasional WALHI periode 2025-2029