"Bagi Kami Ini Belum Usai"

Rabu, 03 Agustus 2016 20:40:54 1793
Puluhan aktivis GAMPARI melakukan aksi unjuk rasa di depan Mapolda Riau, mereka meminta Polda Riau menyelasikan alasan SP3 kasus karhutlah di Provinsi Riau.(ferdian)
Pekanbaru, inforiau.co - Puluhan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendatangi Polda Riau di Pekanbaru dalam rangka mempertanyakan penghentian kasus 15 perusahaan terduga pembakar lahan. 
 
Meski anggota Komisi III memberi komentar 'pedas' atas terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan di Riau oleh Polda pada Senin lalu, namun usai melakukan pertemuan tertutup selama lebih kurang 3,5 jam pada Selasa (2/8) kemarin wakil rakyat tersebut menyatakan alasan yang dipaparkan Polda Riau masuk akal.
 
"Kita menghormati dan mendukung keputusan ini, bagaimana proses hukumnya, sepenuhnya kewenangan Polda Riau," kata Wakil Ketua Komisi III DPR-RI Beni K Harman usai pertemuan. 
 
Kepada wartawan Beni mengatakan sudah memahami duduk permasalahan dan menilai kalau apa yang dilakukan polisi sudah tepat atas terbitnya SP3 tesebut. "Apapun hasilnya, kalau memang tidak ada bukti yang cukup maka sesuai aturan hukum, harus dihentikan," sambung dia.
 
Menurutnya, ada empat perusahaan yang dihentikan penyidikan lantaran sudah dicabut izin usahanya oleh pemerintah, sebelum masuk ke ranah hukum. Sementara untuk 11 perusahaan lainnya dilakukan SP3 karena tidak ditemukan alat bukti yang cukup.
 
Hal yang sama juga diungkapkan anggota Fraksi Demokrat Ruhut Sitompul, yang sehari sebelumnya sempat menuding kalau penghentian penyidikan disebabkan permintaan sejumlah pihak. Bahkan dia juga membandingkan soal penanganan kasus Polda Riau dengan KPK.
 
"Memang tidak mudah, ini kerja keras mereka (Polda Riau, red). Apalagi hutan di sini luas, bahkan sudah ada yang bangun desa di sana. Saya mohon lah pengertian, polisi itu sudah kerja keras," ucap Ruhut.
 
Namun demikian, di tempat terpisah, Ruhut Sitompul menyindir Polda Riau terkesan tergesa-gesa saat menetapkan status tersangka terhadap 15 perusahaan tersebut. "Kalau memang tak ada alat bukti yang kuat, jangan menari di atas gendang orang lain. Menjadikan perusahaan itu tersangka harus atas dua alat bukti yang kuat," katanya.
 
Ia mengatakan seharusnya penetapan tersangka suatu perusahaan jangan didasari kepentingan apapun. Terutama, karena ada 'permintaan' pihak tertentu. "Ini kita jadikan tersangka karena ada permintaan, ooh enggak boleh, memangnya karaoke ada lagu permintaan," ujarnya.
 
Namun tidak semua anggota Komisi III menerima begitu saja alasan Polda atas terbitnya SP3 tersebut. Azrul Azwar menyatakan penjelasan Kapolda Riau terkait SP3 perkara Karhutla itu masih belum selesai. "Bagi kami (penjelasan Kapolda Riau, Red) ini belum selesai. Hasil (pertemuan) ini akan kami laporkan dalam rapat internal atau pleno Komisi III. Dan kami akan menentukan sikap," tegasnya.
 
Azrul menambahkan, masalah SP3 itu masih belum bisa diterima, masih didalami dan dikembangkan. Menurut dia, penyelidikan dan penyidikan kasus kebakaran lahan di Riau ternyata tidak saling koordinasi. Buruknya penanganan ini salah satu penyebab keluarnya SP3 tersebut. "Polda Riau tadi menjelaskan, bahwa salah satu alasan terbitnya SP3, karena perusahaan yang mereka sidik ternyata kasus yang sama disidik oleh penyidik PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," kata Hasrul.
 
Dengan demikian, lanjut Hasrul, membuktikan penanganan kasus kebakaran lahan tahun 2015 di Riau amburadul. Sesama instansi pemerintah dalam hal ini Polda Riau, Kementerian KLH dan kejaksaan tidak saling koordinasi. "Kemarin malam kita bertemu dengan Kejaksaan Tinggi Riau. Mereka menyebut tidak pernah diajak berkoordinasi dalam penanganan kebakaran lahan. Termasuk polisi dan KLH juga tidak saling koordinasi," kata Hasrul politikus PPP itu dilansir detik.
 
Sementara itu Kapolda Riau Brigjen Supriyanto menyatakan pihaknya telah bekerja sesuai Tugas Pokok dan Fungsi dalam menangani kasus kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan 15 perusahaan tersebut. Ia mengatakan, SP3 dikeluarkan karena penyidik tidak menemukan bukti dan unsur-unsur kesengajaan dalam kebakaran hutan dan lahan pada 2015 lalu. 
 
Sebagaimana diketahui, belum lama ini Polda Riau mengeluarkan SP3 untuk 15 perusahaan di Riau. Dikeluarkannya SP3 mengejutkan banyak pihak. Kasus kebakaran lahan di tahun 2015 itu terhitung paling terburuk dalam kurun lima tahun terakhir.
 
15 Perusahaan yang dihentikan penyidikannya adalah PT Bina Duta Laksana, PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia, PT Ruas Utama Jaya, PT Suntara Gajah Pati, PT Dexter Perkasa Industri, PT Siak Raya Timber, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam dan PT Rimba Lazuardi.
 
11 Perusahaan di atas bergerak di Hutan Tanaman Industri. Sementara sisanya PT Parawira, PT Alam Sari Lestari, PT PAN Uniter dan PT Riau Jaya Utama bergerak pada bidang perkebunan.
 
Polri Diminta Terbuka
 
Bergantinya status tersangka menjadi Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) ?pada 15 perusahaan yang terlibat dalam kasus pembakaran hutan di Riau, membuat sejumlah masyarakat geram. Tak terkecuali warga Riau yang menyatakan diri dalam Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR).
 
Menurut Sekretaris Jenderal JMGR, Isnadi Esman, SP3 yang dilayangkan pada 15 perusahaan pembakar hutan ?tidak sebanding dengan banyaknya warga yang menjadi korban dampak asap. Sebab, di Riau sendiri, jumlah korban dampak asap mencapai ribuan orang. Mereka mengidap ISPA dan sembilan di antaranya meninggal dunia.
 
Isnadi menyatakan, diberikannya SP3 pada 15 perusahaan tidaklah tepat. Pasalnya, untuk mengungkap kasus tersebut, proses yang dilakukan terkesan tertutup. Kasus pembakaran hutan, lanjut dia, ada baiknya terbuka seperti kasus kematian Mirna yang diracun melalui kopi.
 
"Kalau penegak hukum mengatakan tidak ada unsur pidana, ayo berikan masyarakat pengujian, letak unsur pidananya di mana? Teman-teman sempat mengikuti perkembangan pembunuhan Mirna yang kopi. Itu kan di-share oleh penyidik dan penegak hukum," ungkap Isnadi, Selasa (2/8).
 
Demikian juga dengan kasus SP3 pada 15 perusahaan pembakaran hutan. Kata Isnadi, seharusnya kepolisian menceritakan lebih detail kronologis seperti apa, titik api terjadi di mana, siapa yang ada di lahan dan siapa yang bertanggung jawab.
 
"Kalau kebakaran terjadi di lahan sengketa, di mana? Kasih penjelasan. Kalau itu tidak ada penjelasan, bagaimana masyarakat itu respons, bagaimana alur ceritanya itu. Penegakan hukum ini harus clear and clean," ungkapnya.
 
Sementara itu, pengacara sekaligus anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Dedi Ali Ahmad, menuturkan, jika kasus ini hanya dijerat SP3, bukan tak mungkin di tahun yang akan datang, kebakaran hutan akan tetap terjadi.
 
"?Karena tidak ada penegak hukum. Dengan adanya SP3, sama saja memberikan saran, silakan Anda membakar selama di tanah sengketa. Silakan bakar, kami tidak akan menuntut pertanggungjawaban terhadap Anda," ujarnya.
 
Sementara itu Gerakan Aksi Mahasiswa Alumni Riau (Gamari) dalam aksi unjukrasa di depan Mapolda Riau Pekanbaru, menilai SP3 terhadap 15 perusahaan di Riau tersebut merupakan langkah mundur dalam penegakan hukum pada kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
 
"Seharusnya Polda Riau segera melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan dan Pengadilan, biarkan lembaga tersebut ang memutuskan tindakan tersebut bersalah atau tidak karena dalam kebakaran hutan dan lahan tersebut ditemukan unsur kesenyajaan," ujar Larshen Yunus Simamora dalam aksinya. IR/DT/RT/OK/VV

KOMENTAR