Perempuan Champa yang Menggoda

Minggu, 08 Oktober 2017 08:10:08 4519
Perempuan Champa yang Menggoda
Gadis Melayu Champa yang penuh pantang larang

*Catatan Perjalanan ke Negeri Komunis Vietnam

 

Tak ada yang menarik dengan Sungai Mekong. Dia sama halnya dengan Sungai Siak yang dalam. Sungai Indragiri yang lebar, dan ramai seperti Sungai Musi. Namun di sepanjang aliran Sungai Mekong yang melintasi enam negara, terutama di ruas Kamboja dam Vietnam, saat ini kita masih bisa menemukan sisa-sisa tapak Melayu dan Islam. Di sinilah sisa-sisa orang Melayu menetap setelah dulunya diburu penguasa Vietnam Utara, komunis, dan Khmer Merah di Kamboja. Sungai Mekong memberi mereka tempat berlindung, menyelamatkan sisa-sisa ruh dan tubuh yang bersyahadat di sana.

Saya melayari Sungai Mekong yang banyak didiami ikan patin. Dulu ikan patin di sini sebesar manusia. Tapi sejak penangkapan sudah masuk ke ranah kemaruk, kini mereka pun eksodus dari Sungai Mekong. Kalau mau ikan patin di sini sudah hasil budi daya. Sudah dipompa makanan pelet berbahan kimia.

Bersama penyair lainnya, saya sempat pula membacakan dua puisi di tugu patin yang berdiri gagah di bibir sungai. Saya juga menaiki rumah apung, tambak-tambak patin, dan juga kelong-kelong yang berayun digoyang gelombang. Di bantaran Sungai Mekong ini pula kita menyaksikan ratusan rumah panggung dengan tiang yang gagah. Dengan ukiran yang rumit. Dengan daun pintu yang berornamen eksotis.

Sungai Mekong adalah bukti sejarah masa lalu Melayu dan Islam yang belum punah. Di kawasan Chau Doc, An Giang Province, masih mudah menemukan kaum Melayu. Bahkan di sinilah komunitas Melayu dalam jumlah lumayan yang tersisa. Sedangkan di kawasan lain, serata Vietnam, Melayu tinggal satu-satu. Mereka telah habis dibantai penguasa Vietnam Utara dan komunis.

Di Chau Doc ini pula saya akhirnya sampai pada kesimpulan, mengapa beberapa raja di nusantara, seperti Majapahit dan Singasari beristrikan putri dari Champa. Saya menyaksikan memang perempuan-perempuan Melayu Champa lawa-lawa. Sangat berbeda dengan perempuan yang saya temukan di pusat kota dan Bandara Ho Chi Minh City. Kelas mereka jauh beda. Postur dan gestur mereka tidak sama.

Di Ho Chi Minh City kita disuguhkan tungkai-tungkai panjang tak berlapis. Putih bagi ubi terkubak. Terselebak hingga ke pangkal paha dengan sengak. Tapi di Chau Doc, kita akan lebih sering berjumpa dengan perempuan berbaju kurung, mengurung kaki panjang hingga leher jenjang. Menutup lengan dan dada.

Kalau di Ho Chi Minh City kita dikilaukan rambut lurus dicatok. Terkadang mengkilap warna perak. Tapi di Chau Doc kita melihat jilbab warna-warni. Walau bukan jilbab syar'i, hanya melimgkar hingga ke leher, tak menutup hingga ke pinggul, tapi secara terbatas mereka sudah mrmbungkus tubuh.

Perempuan Melayu Champa penuh pesona. Kulitnya kuning langsat. Bercahaya bagai pualam. Senyumnya dipenuhi ketulusan. Semanis buah manggis. Tak kurus tak gembur. Bungkuk sabut padat berisi.

Ow, patutlah Kertanegara tertarik ke gadis Champa. Patut Raja Aceh menikahi gadis Champa. Patut...

Lalu saya bertanya mengapa begitu beda pesona paha terbuka dengan yang tertutup baju kurung hingga ke tumit kaki? Mereka menjawab sederhana, ''Kami memakan segala sayur segala buah segala yang halal. Makanya kami manis seperti kelinci,"

Sayangnya, mereka kini tidak seberapa. Komunitas muslim Vietnam tak sampai 1 persen dari total jumlah penduduknya. Sekarang mereka sedang berjuang untuk memulihkan hati yang terluka. Badan yang tersiksa. Pemerintahan Vietnam pun mulai belajar membuka diri.

Memamg belum ada yang bérjalan sempurna. Mungkin Vietnam harus belajar lebih banyak mengenai Islam yang rahmatan lil alamin. Mungkin komunis Vietnam harus belajar bagaimana hidup terbuka dan lepas dari borgol ketakutan dan keburuksangkaan.

Bila ini bisa dilakukan, insya Allah Vietnam akan bertambah maju. Melayu dan Islam pun akan lebih terjamin masa depannya.

Kita memang harus hidup berdampingan dan saling memuliakan!(habis)

KOMENTAR