Rekomendasi Pencabutan UU Penodaan Agama Didasari Ratifikasi HAM

Selasa, 14 Februari 2017 01:24:00 714
Rekomendasi Pencabutan UU Penodaan Agama Didasari Ratifikasi HAM

Jakarta, Inforiau.co - Kasus penodaan agama kembali mencuat setelah adanya dugaan kasus penodaan ayat suci oleh salah satu penjabat pemerintahan. Negara telah mengatur hal itu melalui undang-undang dan KUHP.

LBH Jakarta menilai adanya pemidanaan terhadap warga negara yang memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda bisa berseberangan dengan prinsip-prinsip HAM. LBH Jakarta kemudian menyelenggarakan sebuah diskusi bertajuk 'Diskusi Demokrasi: Seri Penodaan Agama' di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (14/2/2017).

Peneliti hukum dari The Indonesian Legal Resource Centre (ILRC), Siti Aminah Tardi, mengatakan penodaan atau penghinaan merupakan sebuah penentangan terhadap hal yang dianggap suci. Di Indonesia, aturan itu muncul di penghujung masa pemerintahan Soekarno saat mencanangkan haluan politik Nasakom.


"Indonesia memiliki UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ini muncul saat Soekarno mencanangkan Nasakom," ujarnya.

UU tersebut juga terdapat dalam pasal 156a KUHP. Saat ini, isu-isu terkait penodaan agama jadi lebih mudah digulirkan melalui media sosial. Hal itu pun kemudian semakin melebar dengan adanya UU ITE.

"Saat media sosial berkembang, isu ini diberlakukan kepada tulisan-tulisan di media sosial, diskusi di suatu grup. Pasal 156a tidak digunakan, namun menamai UU ITE," katanya.

Siti lalu mengatakan perkembangan pola pasal 156a KUHP digunakan untuk kepentingan pribadi. Menurut Siti, masyarakat mempelajari isu agama merupakan senjata ampuh yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang.

"Misalkan karena dendam, cinta, atau urusan lain. Pada 2012 di Kalimantan, Sandy Hartono dituduh korupsi oleh temannya, dia kemudian membuka akun atas nama temannya, menyebarkan kebencian soal agama agar temannya itu dikriminalisasi," Siti mencontohkan.

Atas faktor tersebut, kemudian muncul rekomendasi untuk mencabut UU penodaan agama. Siti menyebutkan, adanya rekomendasi untuk mencabut UU penodaan agama didasari oleh ratifikasi hukum HAM internasional mengenai kebebasan berpikir, hati nurani, agama atau kepercayaan. Dalam konsep HAM itu yang dilindungi adalah penganutnya, bukan agamanya.

"UU penodaan agama kerap digunakan untuk menghukum ekspresi kelompok minoritas dan pandangan yang dianggap kontroversi, juga untuk membungkam kelompok minoritas," ungkapnya.

Dia berpendapat, hukuman penjara tidak akan bisa menghentikan sebuah keyakinan seseorang. Pembatasan terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang patut diupayakan menurutnya adalah larangan siar kebencian yang mengandung unsur terkait terjadinya diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan.

"Upaya lain guna menghilangkan penodaan agama bisa juga, ini lebih penting, yaitu pendidikan multikulturalisme, dialog, toleransi, dan media massa yang bertanggung jawab," tuturnya.

Sementara itu di tempat yang sama, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Musdah Mulia mengaku bosan untuk membicarakan isu-isu penodaan agama. Dia pun setuju adanya pencabutan terhadap UU penodaan agama karena dianggap tidak manusiawi.

"Kita selalu membicarakan hal yang sama sejak 2010. Gus Dur waktu itu mendorong kita mencabut UU karena dirasa tidak manusiawi, karena dengan mudah digunakan untuk mengkriminalisasi orang lain," ucapnya.

Dia pun mengatakan, dalam hukum Islam tidak disebutkan adanya kekerasan guna menyikapi sebuah perbedaan yang timbul. Musdah menceritakan bagaimana sikap Muhammad SAW dalam menyikapi perbedaan pendapat yang timbul di antara para sahabatnya.

"Sejauh saya mempelajari hukum Islam, di situ tidak ada hukum kekerasan terhadap perbedaan berpendapat, adanya soal tabayun. Jika kita mempelajari searah rasul, para sahabat juga sering mengalami perbedaan pendapat. Rasul menyikapinya dengan bijaksana, tidak ada kekerasan di situ," ujar Musdah. dtc

KOMENTAR