Riau Menang Tanpa Sorak, Jalan Sunyi Menuju Indonesia Emas

Rabu, 06 Agustus 2025 12:15:50
Riau Menang Tanpa Sorak, Jalan Sunyi Menuju Indonesia Emas

Jakarta, Inforiau.co -Di tengah riuhnya ibu kota dan bisik-bisik politik yang tak kunjung padam, sebuah forum yang sunyi namun sarat makna berlangsung di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta: Rapat Koordinasi Nasional Badan Wakaf Indonesia (Rakornas BWI) 2025.

Tak ada gemuruh investor. Tak ada sorotan rating TV. Tapi di panggung inilah, umat—melalui lembaga wakaf—meneguhkan arah baru menuju Indonesia Emas. Kali ini bukan emas dari tambang, tapi emas dari keikhlasan. Bukan emas batangan, tapi niat yang ditunaikan lewat gerakan bernama wakaf.

Tema besar “Gerakan Indonesia Berwakaf: Meneguhkan Asta Cita Menuju Indonesia Emas” mungkin terdengar seperti jargon yang biasa nangkring di spanduk Musrenbang. Tapi tidak hari ini. Tidak ketika Provinsi Riau berdiri di podium tertinggi, menyabet IWN Tertinggi Nasional Tahun 2025, menandai prestasi historis dalam pengelolaan wakaf di Indonesia.

Yang menerima penghargaan bukan selebritas spiritual atau figur viral TikTok, tapi Gubernur Riau, H. Abdul Wahid, M.Si, didampingi Ketua BWI Provinsi Riau, H. Abdul Rasyid Suharto, M.Ed. Sebuah pemandangan langka di panggung nasional: pemimpin daerah hadir bukan untuk klarifikasi kasus, tapi untuk menerima penghargaan karena berhasil mengelola amanah umat.

Tak banyak yang tahu, hanya tiga tahun lalu, Riau ada di urutan ke-32 dari 34 provinsi dalam IWN. Kini, di tahun 2025, ia bukan hanya naik, tapi melompat—dari peringkat 3 (2023) ke peringkat 2 (2024), hingga menyentuh peringkat 1 nasional tahun ini. Bukan karena mukjizat, tapi kerja nyata yang jarang dipamerkan.

“Ini hasil kolaborasi semua pihak. Tapi tantangan kita belum selesai. Kita perlu mendorong produktivitas aset wakaf dan mengajak masyarakat terus bergerak dalam semangat wakaf,” ucap Gubernur Wahid dengan nada yang lebih mengajak ketimbang mengklaim.

Sementara Ketua BWI Riau memberi kunci pendek tapi tajam:

“Regulasi dan anggaran yang jelas, literasi wakaf yang meluas, Nazir yang kompeten, sinergi antar-lembaga, legalitas aset wakaf, optimasi nilai dan digitalisasi, serta kapitalisasi wakaf uang masyarakat dan ASN yang terus meningkat. Itu rumus kami.”

Dan dari forum ini, kita dipaksa bertanya ulang: Di mana semua aset wakaf kita selama ini? Masihkah mereka tertidur di bawah tumpukan berkas kantor kelurahan? Atau telah berubah fungsi menjadi tanah parkir dan gedung tak bertuan?

Wakaf seharusnya bukan museum kebajikan. Ia adalah ekosistem. Bayangkan jika rumah sakit, sekolah, pertanian, bahkan inovasi digital bisa dibiayai dari dana wakaf—maka “Indonesia Emas” tak lagi utopia, tapi keseharian.

Dan mungkin, dari panggung Pullman inilah, kita menyadari: ada jenis kekayaan yang tak terlihat, tapi menghidupkan. Ada jenis prestasi yang sunyi, tapi menuntun umat pulang.

KOMENTAR