Waduuh! Kayaknya Freeport Hadapi Masalah Berat!

Selasa, 14 Februari 2017 04:03:00 499
Waduuh! Kayaknya Freeport Hadapi Masalah Berat!
Foto: Istimewa/Puspa Perwitasari

Jakarta, Inforiau.co - Jakarta, inforiau.co - Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di Papua, yaitu PT Freeport Indonesia, sedang menghadapi masalah berat. Negosiasinya dengan pemerintah untuk kepastian usaha tengah buntu.

Chappy Hakim, Presiden Direktur Freeport Indonesia, mengatakan pihaknya tidak menyetujui usulan perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi. Klausul di dalam IUPK tidak sesuai dengan keinginan Freeport, karena memberikan ketidakpastian.

Sementara menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017, IUPK menjadi syarat bagi Freeport untuk bisa mendapatkan izin ekspor sementara, dengan syarat membayar Bea Keluar (BK), itu pun dengan syarat dalam 5 tahun Freeport harus membangun smelter di dalam negeri.

Freeport memang belum menyetujui IUPK karena aturan pajak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Tidak pasti seperti pada Kontrak Karya.

"Jadi kontrak harus menjadi izin (IUPK), apabila tidak menjadi izin tidak bisa ekspor," kata Chappy, dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi media massa, di ruang Bimasena, Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin malam (13/2/2017).

Pemerintah sendiri masih kukuh dengan aturan pajak yang berlaku pada IUPK ini

Selain IUPK, Freeport juga tidak setuju dengan aturan kewajiban divestasi atau penjualan saham hingga 51%, seperti yang ada dalam PP No.1 Tahun 2017.

"Freeport tidak akan beri 51% karena bisa kehilangan pengendalinya," jelas Chappy.

Pihak Freeport berharap negosiasi dengan pemerintah bisa memunculkan solusi yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Memang sampai saat ini negosiasi masih buntu, dan Freeport menghadapi masalah berat, yaitu tidak bisa mengekspor konsentrat atau hasil tambangnya.

Chappy mengatakan, konsentrat yang ada saat ini sudah menumpuk di gudang dan penuh. Sehingga Freeport terpaksa menghentikan produksinya. Masalah belum selesai, smelter di Gresik yang menjadi tempat pengolahan konsentrat untuk menjadi barang jadi tengah dilanda aksi mogok karyawan.

Mogok kerja ini terjadi sejak 19 Januari 2017 karena masalah Perjanjian Kerja Sama antara pemilik smelter dengan karyawan. Freeport memiliki 25% saham di PT Smelting, selaku pengelola smelter di Gresik. Sisanya dimiliki oleh pihak Mitsubishi. Smelter di Gresik ini menyerap 40% dari hasil produksi Freeport, atau sekitar 1 juta ton konsentrat per tahun.

Karena aksi pemogokan ini, maka produksi konsentrat Freeport tak bisa terserap, gudang penuh, dan produksi terpaksa disetop. Produksi yang disetop ini membuat karyawan terancam berhenti bekerja.

Feeport juga tengah membangun smelter baru di Gresik untuk menyerap 2 juta ton konsentrat per tahun. Biaya yang siap dikeluarkan adalah Rp 30 triliun.

Saat ini saja, Chappy mengatakan, sudah ada 25 karyawan ekspatriat di tingkat senior supervisor untuk tambang bawah tanah yang dipulangkan, karena memang tambang bawah tanah sudah berhenti beroperasi akibat konsentrat yang menumpuk dan tidak bisa diekspor karena belum mendapatkan izin.

"Investasi underground (tambang bawah tanah) sudah kita setop karena belum ada kepastian (ekspor)," kata Chappy. Sejauh ini, Freeport sudah menginvestasikan sekitar US$ 7 miliar untuk pengembangan tambang bawah tanah ini.

Chappy mengatakan, pihaknya tidak mau sampai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena penghentian produksi yang terjadi saat ini. Dia juga ingin kondisi di Papua tetap aman, meski ada gangguan produksi.

Pihak Freeport sangat berharap ada jalan keluar dari pemerintah di tengah situasi ini. Menurut catatan Freeport, dalam 10 tahun terakhir pemerintah Indonesia rata-rata mendapatkan pemasukan US$ 1,1 miliar/tahun dari usaha tambang Freeport, baik pajak maupun royalti tambang. dtc

Chappy Hakim, Presiden Direktur Freeport Indonesia, mengatakan pihaknya tidak menyetujui usulan perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi. Klausul di dalam IUPK tidak sesuai dengan keinginan Freeport, karena memberikan ketidakpastian.

Sementara menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017, IUPK menjadi syarat bagi Freeport untuk bisa mendapatkan izin ekspor sementara, dengan syarat membayar Bea Keluar (BK), itu pun dengan syarat dalam 5 tahun Freeport harus membangun smelter di dalam negeri.

Freeport memang belum menyetujui IUPK karena aturan pajak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Tidak pasti seperti pada Kontrak Karya.

"Jadi kontrak harus menjadi izin (IUPK), apabila tidak menjadi izin tidak bisa ekspor," kata Chappy, dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi media massa, di ruang Bimasena, Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin malam (13/2/2017).

Pemerintah sendiri masih kukuh dengan aturan pajak yang berlaku pada IUPK ini

Selain IUPK, Freeport juga tidak setuju dengan aturan kewajiban divestasi atau penjualan saham hingga 51%, seperti yang ada dalam PP No.1 Tahun 2017.

"Freeport tidak akan beri 51% karena bisa kehilangan pengendalinya," jelas Chappy.

Pihak Freeport berharap negosiasi dengan pemerintah bisa memunculkan solusi yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Memang sampai saat ini negosiasi masih buntu, dan Freeport menghadapi masalah berat, yaitu tidak bisa mengekspor konsentrat atau hasil tambangnya.

Chappy mengatakan, konsentrat yang ada saat ini sudah menumpuk di gudang dan penuh. Sehingga Freeport terpaksa menghentikan produksinya. Masalah belum selesai, smelter di Gresik yang menjadi tempat pengolahan konsentrat untuk menjadi barang jadi tengah dilanda aksi mogok karyawan.

Mogok kerja ini terjadi sejak 19 Januari 2017 karena masalah Perjanjian Kerja Sama antara pemilik smelter dengan karyawan. Freeport memiliki 25% saham di PT Smelting, selaku pengelola smelter di Gresik. Sisanya dimiliki oleh pihak Mitsubishi. Smelter di Gresik ini menyerap 40% dari hasil produksi Freeport, atau sekitar 1 juta ton konsentrat per tahun.

Karena aksi pemogokan ini, maka produksi konsentrat Freeport tak bisa terserap, gudang penuh, dan produksi terpaksa disetop. Produksi yang disetop ini membuat karyawan terancam berhenti bekerja.

Feeport juga tengah membangun smelter baru di Gresik untuk menyerap 2 juta ton konsentrat per tahun. Biaya yang siap dikeluarkan adalah Rp 30 triliun.

Saat ini saja, Chappy mengatakan, sudah ada 25 karyawan ekspatriat di tingkat senior supervisor untuk tambang bawah tanah yang dipulangkan, karena memang tambang bawah tanah sudah berhenti beroperasi akibat konsentrat yang menumpuk dan tidak bisa diekspor karena belum mendapatkan izin.

"Investasi underground (tambang bawah tanah) sudah kita setop karena belum ada kepastian (ekspor)," kata Chappy. Sejauh ini, Freeport sudah menginvestasikan sekitar US$ 7 miliar untuk pengembangan tambang bawah tanah ini.

Chappy mengatakan, pihaknya tidak mau sampai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena penghentian produksi yang terjadi saat ini. Dia juga ingin kondisi di Papua tetap aman, meski ada gangguan produksi.

Pihak Freeport sangat berharap ada jalan keluar dari pemerintah di tengah situasi ini. Menurut catatan Freeport, dalam 10 tahun terakhir pemerintah Indonesia rata-rata mendapatkan pemasukan US$ 1,1 miliar/tahun dari usaha tambang Freeport, baik pajak maupun royalti tambang. dtc

KOMENTAR