Asa dari Migas yang Tersisa

Senin, 25 Februari 2019 15:35:22 954
Asa dari Migas yang Tersisa
Pompa Angguk Sumur Minyak

Migas: Petaka dan Berkah

Kekayaan sumber daya alam sebagai kutukan. Penyataan ini muncul tahun 1980-an, dan disematkan terutama pada sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Seperti minyak dan gas bumi (Migas). Juan Pablo Perez Alfonso, salah seorang pendiri Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) itu menyebut: Minyak adalah kotoran iblis. Pandangan tersebut lahir kepermukaan, akibat tidak sedikit daerah atau sebuah negara yang memiliki kekayaan alam melimpah, namun malah kekayaan alamnya itu menjadi ‘pemantik’ terjadinya konflik berkepanjangan: Antara rakyatnya, antara pemerintahan dengan rakyatnya, juga antara negara tersebut dengan negara lain. Yang pada akhirnya menghancurkan tatanan kehidupan masyarakatnya.

Negara-negara di kawasan Timur Tengah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi. Sebut saja Irak, Iran, Suriah, puluhan tahun hingga saat ini terus dilanda konflik. Baik itu antara satu negara dengan negara disekitarnya, juga antara pemerintahan di negara tersebut dengan kelompok-bersenjata yang juga rakyat di negara itu. Salah satu penyebab utamanya perebutan ladang-ladang minyak tersebut.

Perang dikawasan ini seakan abadi. Ditambah lagi berbagai kepentingan negara-negara luar juga datang ‘menancapkan kuku’, dan berharap keuntungan penguasaan kekayaan alamnya. Pertikaian inilah yang kemudian membuat semua sektor yang harusnya dikelola dengan baik oleh pemerintahan terabaikan, dan tenaga habis tergerus karena konflik. Aktivitas ekonomi rakyat tidak lagi normal, kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan terbengkalai. Dan pada akhirnya kesejahteraan rakyat berbanding terbalik dengan kekayaan yang terkandung di perut buminya.

Namun demikian, tidak semua negara yang memiliki kekayaan alam melimpah terjerumus dalam pertikaian. Ambil saja contoh Arab Saudi. Negara yang masih satu kawasan dengan negara-negara konflik yang penulis sebut diatas. Negeri Raja Salman ini mampu ‘mengonversi kekayaan alamnya yang melimpah ruah itu untuk kesejahteraan rakyatnya. Padahal, sebelum dieksploitasi minyak dalam perut bumi negara ini lebih kurang seabad lalu, negeri ini tidaklah begitu dipandang oleh negara lain. Terutama negara-negara barat.

Namun ketika industri berkembang pesat, yang tentunya membutuhkan minyak bumi, Arab Saudi pun menjelma menjadi negara ‘petrodolar’. Ekonomi rakyatnya meningkat, berbagai kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Sehingga tidak heran kemudian negara ini menjadi tujuan pekerja dari berbagai pelosok dunia mengadu nasib di negara dengan sistem kerajaan tersebut. Juga dari Indonesia. Meskipun hanya menjadi buruh kasar, dan dengan segala resiko hukum di depan mata.

Tidak hanya Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar juga merasakan perubahan luar biasa pada ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya, sejak ditemukan dan dimanfaatkannya kekayaan minyak bumi dan gas alam. Yang juga baru dieksploitasi beberapa puluh tahun terakhir. Segala bentuk kemewahan nomor wahid terpampang di dua negara padang pasir yang ‘disulap’ menjadi padang besi ini.

Masih satu pulau dengan Kalimantan, Brunei Darussalam. Negara tetangga yang masih satu rumpun ini juga menikmati limpahan kesejahteraan dari kekayaan migas. Kesejahteraan rakyat di negara ini diatas rata-rata masyarakat di benua Asia. Penguasanya juga disebut sebagai salah satu anggota kerajaan terkaya di dunia.

Lalu pertanyaannya bagaimana dengan Indonesia? Kedalam golongan manakah negeri ‘Zamrud Khatulistiwa’ ini dikategorikan? Apakah kekayaan alamnya menjadi kutukan? Atau malah sebaliknya, menyejahterakan rakyatnya?. Hemat penulis, setakat ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori kekayaan sumber daya alam menjadi kutukan, sebab belum pernah, dan berharap jangan pernah terjadi konflik dan krisis kemanusian berkepanjangan seperti yang terjadi di beberapa kawasan Timur Tengah. Namun, juga belum bisa dikatakan kekayaan alam di Nusantara ini, terutama migas, membawa rakyat Indonesia ke gerbang kesejahteraan.

Regulasi Mempercepat ‘Konversi’ Migas untuk Kesejahteraan Rakyat

Kekayaan sumber daya alam Indonesia, dan yang akan saya bahas kedepan terkait minyak dan gas bumi (Migas). Kita ketahui, saat ini migas memang tidak lagi menjadi sumber pendapatan utama bagi negara. Berbeda dengan beberapa dekade lalu: Produksi minyak dari berbagai ladang bisa di atas 1 juta barrel per hari. Sekarang, produksinya sudah jauh berkurang, ditambah konsumsi dalam negeri yang tinggi. Sehingga tidak heran kemudian Indonesia tidak lagi menjadi anggota negara pengekspor minyak.

Meskipun demikian, migas tetap menjadi komoditas pertambangan ‘primadonabagi negara, juga diupayakan pihak swasta. Migas tetap menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di Republik ini. Sebab ladang-ladang migas yang sudah tua itu disebut masih menyimpan cadangan untuk beberapa puluh tahun kedepan.

Pertamina sebagai perusahaan negara yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dari perut bumi Indonesia, terus ‘berburu’ ladang-ladang minyak yang potensial memberikan keuntungan. Salah satu tampak dengan keberanian perusahaan ‘plat merah’ ini merebut hak pengelolaan ladang minyak raksasa yang tadinya puluhan tahun dikelola perusahaan asing: Blok Rokan di Riau dan Blok Mahakam di Kalimantan. Dengan demikian, otomatis kedepannya pendapatan negara akan jauh lebih optimal dengan penguasaan sepenuhnya oleh Bandan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.

Sementara bagi daerah: Provinsi dan juga kabupaten/kota penghasil migas, seiring bergulirnya semangat otonomi daerah, ada keinginan daerah untuk juga ikut bersama-sama dalam pengelolaan migas ini. Dan regulasi di tingkat pemerintahan pusat, sejauh ini sudah ‘di atas rel’ yang diharap pemerintah daerah. Mulai dari pasal 21 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang memuat mengenai rencana pengembangan lapangan produksi di suatu wilayah kerja (WK), pemegang hak kelola dan pihak terkait didalamnya harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan pemerintah daerah provinsi bersangkutan.

Kemudian diperjelas dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Yang mana pemerintah pusat mengalokasikan Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas Bumi untuk pemerintah daerah. Lalu disusul dengan upaya Pemerintah pusat, bagaimana daerah juga mendapat bagian dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) melalui Participating Interest 10 Persen (PI).

Participating Interest 10 persen ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dan PI ini sendiri ditawarkan ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di wilayah kerja (WK). Setelah berjalan belasan tahun aturan PI 10 persen yang tertuang dalam PP 35 Tahun 2004 tersebut, dinilai memberatkan bagi daerah untuk pendanaan diusaha migas ini. Sebab BUMD harus mengeluarkan 10 persen dari biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor.

Sebab itu, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan akhir tahun 2016 lalu mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan-Ketentuan Penawaran Participacing Interest 10 Persen pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi. Dalam kebijakan ini, PI 10 persen akan ditalangi oleh kontraktor, lalu nanti BUMD menggantinya dari hasil produksi yang didapat. Maka demikian, daerah hanya perlu mempersiapkan BUMD yang memenuhi syarat untuk menerima dan mengelola PI 10 persen tersebut. Dengan aturan-aturan yang ada ini, menjadi terbukalah kesempatan bagi daerah merasakan kemanfaatan yang jauh lebih banyak dari keberadaan sumber daya alam.

Namun menurut penulis, pendampingan mesti diberikan pemeritahan pusat kepada pemerintahan daerah. Sebab, tidak semua daerah memahami seluk beluk bisnis migas. Seperti yang dikatakan Dr. Eng Muslim, Ketua Program Studi Teknik Perminyakan Universitas Islam Riau (UIR). “Industri migas memiliki ciri khas: high risk, high cost, and high technology”.

Riau ‘Menangkap’ Kemanfaatan Sisa Migas

Provinsi Riau menjadi salah satu daerah utama penghasil migas. Sudah puluhan tahun dari perut bumi Lancang Kuning ini menghasilkan minyak dan gas bumi terbaik dan terbanyak bagi Indonesia. Ada beberapa blok. Satu diantaranya blok Rokan. Yang merupakan blok raksasa yang tersebar di beberapa kabupaten di provinsi Riau. Hampir sepertiga dari total produksi minyak nasional saat ini. Namun, keberadaan ‘emas hitam’ ini dinilai belum maksimal bagi pembangunan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat tempatan. Terutama sebelum bergulirnya otonomi daerah.

Setelah otonomi daerah berjalan dua dekade terakhir, seperti yang penulis sebutkan diatas, berbagai regulasi yang dibuat akhirnya membuka jalan bagi pemeritah daerah untuk ambil bagian kemanfaatan di wilayah kerja produksi migas. Dana Bagi Hasil (DBH) salah satunya. Dan Riau sendiri ternyata langsung mengambil kesempatan ikut menjadi pengelola industri minyak. Sudah terlibat belasan tahun di Blok Cloastal Plains and Pekanbaru (CPP) melalui PT Bumi Siak Pusako (BSP) bersama Pertamina.

Dengan keterlibatan BUMD ini, pendapatan daerah jauh lebih optimal. Dan tampak dari percepatan pembangunan di kabupaten Siak yang merupakan wilayah kerja (WP) blok CPP. Apatah lagi, kurang lebih empat tahun lagi, hingga 20 tahun selanjutnya, PT BSP diberi kepercayaan 100 persen oleh Kementerian ESDM dalam pengelolaan blok CPP. Tentu ini akan signifikan menambah pendapatan asli daerah, dan mempercepat pembangunan disegala sektor di negeri Istana tersebut.

Kemudian, sebelumnya BUMD milik pemerintah provinsi Riau juga sudah menjadi bagian dari pengelolaan blok Siak dan blok Kampar dalam skema Participacing Interest (PI) 10 persen berdasar aturan yang ada. Dan terbaru, setelah Pertamina diberi kepercayaan Kementerian ESDM memegang sepenuhnya pengelolaan blok Rokan: Sisa yang masih melimpah itu, Pempov Riau dan seluruh elemen masyarakat harus bersinergi meraih kepercayaan pemerintah pusat juga Pertamina untuk dapat porsi lebih besar: Tidak hanya PI 10 persen.

Blok Rokan yang pengelolaannya oleh PT Chevron Pacific Indonesia ini berakhir tahun 2021. Selanjutnya akan dikelola PT Pertamina, dan penulis sendiri ikut dalam beberapa proses rapat dan pertemuan lintas elemen masyarakat di Lembaga Adat Melayu Riau (LAM-R) agar provinsi Riau diberikan kesempatan pengelolaan yang lebih jauh. Seperti Badan Operasional Bersama (BOB) PT BSP-Pertamina di blok CPP. Juga disampaikan Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAM-R, Datuk Seri Al Azhar pada satu kesempatan peretemuan: Riau miskin dalam kubangan kekayaan sumber daya alam. Riau kelaparan dalam lumbung tumpukan makanan.

Sudah sepatutnya pemerintah pusat memahami bagaimana kuatnya keinginan masyarakat di Riau untuk dapat hak pengelolaan di blok Rokan ini lebih jauh. Sudah 50 tahun beroperasionalnya blok yang terletak di beberapa kabupaten ini, namun masyarakat Riau tampak hanya sebagai penonton. Juga tidak sedikit ‘luka’ harus dirasakan sejak hutan-hutan masyarakat adat harus direlakan.

Hasil dari pertemuan-pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan. Diantaranya: Meminta dilibatkannya BUMD dalam pengelolaan dengan persentase yang sepatutnya. Juga Blok Rokan harus menyediakan 2 persen dari total keuntungan sebagai ‘Pancung Alas’ atas tanah yang tergolong pada tanah adat. Proses perjuangan agar Riau diberi kesempatan ini hendaknya didengar dan diwujudkan pemerintah pusat: Kementerian ESDM dan Pertamina.

‘Investasi’ Migas di Riau untuk Pendidikan

Harapan baru dihadirkan gubernur baru. Syamsuar dan Edy Natar baru saja dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Terselip satu dalam 100 hari kerja pertama pemimpin Riau ini, yakni menyiapkan Ranperda wajib belajar 12 tahun, serta memastikan anak SLTP sederajat mendapat pendidikan SMA/SMK/MA. Ranperda yang akan dirumuskan tersebut menurut penulis sangat penting guna pembenahan kualitas sumber daya manusia di Riau. Dan ini tentu membutuhkan perangkat keuangan/anggaran yang memadai.

Pemangku kepentingan di Riau harus melihat jauh kedepan. Kekayaan sumber daya alam fosil ini niscaya akan habis. Sebab itu harus ada ‘investasi’ jangka panjang. Dan menurut penulis, dalam sektor pendidikanlah investasi yang harus di prioritaskan.

Meski amanat undang-undang menyebutkan alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD, pemprov Riau sudah sepatutnya menggelontorkan jauh lebih besar dari itu.

Semua dapat menilai, puluhan tahun mengalir minyak dari Riau, seperti blok Rokan, perhatian perusahaan sangatlah minim untuk memajukan pendidikan. Memang ada satu atau dua institusi pendidikan yang dibangun perusahaan ini, seperti Politeknik Caltex Riau (PCR), namun rasanya belumlah maksimal. Bahkan, PCR ini berdasarkan kesepakatan awal pembangunannya akan dikembangkan menjadi Institut atau universitas. Tapi hingga operasional perusahaan negeri Paman Sam ini berakhir, belum juga diwujudkan.

Tantangan, harapan dan kesempatan didepan mata. Negara-negara kaya sumber daya alam sudah tidak sepenuhnya lagi mengandalakan penghasilan dari alamnya. Mereka berivestasi besar-besaran di sektor-sektor lain: Pariwisata salah satunya. Apa yang penulis sebut tentu hanya bisa dilakukan di negara yang keamanannya stabil. Berbeda dengan negara yang masih berkutat dengan konflik.

Dan bagi daerah penghasil migas seperti Riau, dengan regulasi yanga ada, harus memaksimalkan terlibat lebih jauh dalam pengelolaan migas. Begitu juga dengan pemerintah pusat, harus memberi kesempatan lebih kepada daerah. Tidak lagi seperti yang sudah terjadi puluhan tahun lalu. Sehinga kemudian, pemerintahan daerah bisa mengoptimalkan pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.’Adat hidup sama sekampung, sakit senang sama ditampung, laba rugi sama dihitung, beban dan utang sama ditanggung’ kata budayawan Riau, Almarhum Tenas Effendy dalam Tunjuk Ajar Melayu.

Oleh : Alwira Fanzary Indragiri

KOMENTAR