Ember Berkarat dan Bocor itu

Jumat, 08 September 2017 14:01:46 1244
Ember Berkarat dan Bocor itu

Oleh Saidul Tombang

Seorang lelaki penuh dosa tiba-tiba terdiam di sudut ruang. Dia menimbang-nimbang dosa, mengqimat-qimat diri. Hasil perenungannya adalah hal yang luar biasa; dia adalah makhluk hina yang ingkar dan sangat tidak adil atas hak dan kewajiban dengan Tuhannya.

Lalu dia memutuskan untuk datang kepada seorang mursyid. Menyerahkan diri untuk diajari. Berharap perangainya berubah. Ilmunya bertambah. Amalannya berlimpah. Hatinya jadi lemah lembut. Jiwa raganya sesuai dengan perintah khittah dia sebagai manusia.

Dia pun belajar dan beramal. Saban hari berbilang waktu. Dia terus mencari dan mencari. Dia terus merenung dan bermenung. Berharap ada hidayah yang menyentuh. Meminta ridha dari Allah yang maha utuh.

Namun sepanjang perjalannya dia tidak mendapatkan apa-apa. Dia tak merasakan kehadiran Allah di kehidupannya. Dia merasa semuanya sia-sia. Dia berada di ambang putus asa. Dia berfikir, mungkin hidupnya memang bukanlah jalan Tuhan tapi jalan syaithan. Mungkin takdirnya bukan kebaikan melainkan keburukan.

Tapi sebelum memutuskan kembali ke kegelapan, dia bertanya untuk terakhir kali kepada mursyidnya. Tentang hatinya yang galau. Tentang pencariannya yang tidak membuahkan hasil apa-apa.

Mursyidnya memberi sebuah ember berkarat. Lalu dia meminta sang murid mengambil air dari sumber air yang jernih untuk keperluan umat.

"Bawakan aku seember air. Aku ingin berwudhu dengannya," kata sang mursyid

Sebuah pekerjaan dan permintaan yang sederhana. Dia pun dengan ikhlas mengerjakannya.

Namun pekerjaan mudah itu akhirnya menjadi sesuatu yang sulit dan membosankan. Awalnya dia menyadari bahwa ember besi ini berkarat. Tak mungkin sang mursyid berwudhu dengan air yang embernya berkarat. Dia goyangkan ember itu setiap kalo menyauk air yang jernih itu. Kemudian dia juga menyadari bahwa ember ini bocor. Banyaj liang di setiap sudutnya. Air penuh yang disauknya awalnya tak sampai setetes pun kepada mursyidnya. Lalu kemudian dia coba sumbat sana-sini dengan jarinya. Bepuluh kali aktivitas itu dilakukannya. Membersihkan karat satu per satu, menyumbat liang yabg bocor satu persatu. Sampai akhirnya dia bisa menghibahkan beberapa tetes air kepada sang mahaguru.

Dia pun menyerah. Lalu dia serahkan kembali ember itu kepada sang mursyid sambil berkata, "Mungkin inilah takdir saya. Tak bisa berbuat dan memberi apa-apa."

Sang mahaguru lalu memeluk muridnya.

"Inilah hidup," katanya, "kita diberikan sumber air yang jernih. Namun kita menyauknya dengan ember yang berkarat dan bocor. Jangan pernah membawa jernihnya air dengan karat embermu. Jangan pula berharap menampung air dengan ember bocormu. Itulah pekerjaan sia-sia,"

Lalu sang mahaguru memandang sang murid yang terdampar di gurun putus asa itu.

"Tapi engkau sudah melakukan hal yang benar. Kau bersihkan karat hatimu secuil demi secuil. Kau sumbat penyakit hatimu seliang demi seliang. Hingga akhirnya engkau berhasil menghibahkan beberapa tetes jernihnya air kepadaku. Lihatlah, sekarang embermu bersih mengkilat. Liangnya juga sudah banyak yang tersumbat. Engkau akan lebih siap tanpa engkau sadari sama sekali," katanya dengan penuh senyum.

Sang murid hanya terperangah. Dia terpegun dalam gerun dan lamun. Sampao akhirnya dia menubruk sang mahaguru. Memeluknya dalam dekap dalam. Mengaliri jubahnya dengan air mata.

Sampailah dia kepada maqam ikhlas, maqam yang hanya diberikan atas ridha Allah yang maha mulia.

Begitulah hidup saudaraku. Jangan putus asa dengan skenario kecil kita. Allah memiliki skenario besar dan luar biasa untuk hambanya.***

#masihrindukelambuyangpengapitu

KOMENTAR