Rakyat Menjerit; Penguasa tak Punya Malu

Minggu, 25 November 2018 20:30:53 1026
Rakyat Menjerit; Penguasa tak Punya Malu
Alwira Fanzary Indragiri

USAI memimpin sholat subuh berjamaah di mushola yang tak jadi-jadi itu, Rizki, penjaga mushola yang juga mahasiswa semester awal di UIN Suska Riau, memperlihatkan pada saya foto dan video, sembari bercerita hamparan perkebunan kelapa di kampung halamannya, Negeri Seribu Parit, Indragiri Hilir.


Namun, sesekali saya mendengar cakap yang keluar dari budak Tempuling ini berasal dari dada yang sesak tertahan. "Jual kelapa sekarang sekilo paling 600 sampai 700 rupiah bang. Tak ada nilainya lagi. Padahal setahun dua tahun yang lalu bisa mendekati harga 2 ribu. Sementara, harga barang kebutuhan hidup terus naik".


Tak lama kemudian, Yusrizal mahasiswa jurusan Ilmu Hukum, rekan Rizki, tiba-tiba keluar dari bilik sempit ruang mushola. Harga karet. Itu ternyata jadi topik yang ingin diramaikannya bebual dengan kami."Harga sekilo 5 ribu an rupiah bang. Tambah lagi musim penghujan, apa lagi mau ditakik".


Tanpa saya provokasi, dua mahasiswa ini satu kesimpulan, mesti ada pihak yang diminta pertanggungjawabannya dengan semakin tidak berharganya hasil panen perkebunan Abah Emak mereka di kampung. Pemimpin Eksekutif. Itu sasaran tembak mereka.

Mantap lah saya pikir, penyakit puja-puji sembah sujud kepada penguasa, yang dipertontontan sebagian kampus di negeri ini tak menular pada dua mahasiswa ini. Akal mereka bertumbuh, pikiran mereka merdeka dengan segala argumentasinya, terbebas dari jilat-menjilat. Setidaknya saat ini. Sebagai landasan idealisme, itu penting.


Lalu, apa benar eksekutif, dalam hal ini bisa dari tingkat pemerintah kabupaten/kota, provinsi hingga negara harus bertanggungjawab dengan setiap permasalahan dalam lingkup kekuasaanya?. Relatif, itu cakap kawan yang dah jinak oleh penguasa itu.


Padahal dia tahu persis, sistim pemerintahan di negara ini memberi kekuasaan dan wewenang yang amat besar dalam perumusan, implementasi dan pengendalian kebijakan serta keuangan pada eksekutif. Jika lebih jauh melihat kebelakang, memang asal segala kekuasaan itu ada di eksekutif. Bahkan, disaat sudah di bagi ke legislatif dan yudikatif, eksekutif masih memiliki kuasa legislasi dan hukum. Dahsyat.


Maka, dengan sendirinya, patut pula kemudian ketika menjeritnya masyarakat penghasil perkebunan kelapa, karet dan sawit di Riau saat ini, pemimpin tertinggi eksekutif dimintai pertanggungjawaban. Bupati, gubernur bahkan Presiden.


Tak usah sejuta alibi di umban ke rakyat. Mereka tak mau tau itu. Yang mereka tau, saat kampanye, janji-janji kesejahteraan dari Tuan-tuan sudah dicerna mentah-mentah. Dengan masa periode kepemimpinan yang jelas. Tapi memang, jika syahwat kekuasaan sudah berkerak di ubun-ubun, keluhan masyarakat tak ubah hanya seperti berisik nyamuk di luar kelambu.

Jika masih punya malu, pemimpin publik yang makan dari uang rakyat, jika tak mampu atasi masalah, apalagi berkaitan dengan hidup hajat orang banyak, harus nya mundur dari amanah kekuasaan yang pernah diberi. Bukan malah minta tambah. Gila aja lu ndro.

Oleh: Alwira Fanzary Indragiri

Ketua OKP Lingkar Anak Negeri Riau (LAN-R)

Jurnalis

KOMENTAR