Tax Amnesty, Kebijakan Kurang Ideal, Tapi Dibutuhkan
Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Mukhamad Misbakhun, pada Hari Selasa 19 November 2024, menyampaikan bahwa DPR memasukkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak atau tax amnesty dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Artinya, *pemerintah akan kembali menjalankan tax amnesty jilid III* setelah sebelumnya menjalankan pada tahun 2016 dengan program tax amnesty dan tahun 2022 dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Tax amnesty jilid I yang berlaku pada tahun 2016, sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yaitu pengampunan atas pajak terhutang, tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan, dengan membayar uang tebusan. Hasilnya, negara mengumpulkan uang tebusan Rp. 130 triliun, data deklarasi sebesar Rp. 4.813,4 triliun dan repatriasi sebesar 146 triliun.
Selanjutnya, pada tahun 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), yang berlaku pada Tanggal 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022, sesuai dengan amanah dari Undang-undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP). *Program ini selanjutnya dikenal dengan tax amnesty jilid II.* Kebijakan ini bisa mengumpulkan dana dari setoran PPh buat negara sebesar Rp. 61,01 triliun dan harta bersih yang diungkap sebesar Rp. 594,82 triliun. Tax amnesty jilid II memang tidak sesukses jilid I, diantaranya karena pembatasan peserta dan juga tarif yang cenderung kurang menarik.
Kebijakan tax amnesty akan selalu menimbulkan polemik dan diskursus yang bertentangan. Pertama, tax amnesty ini akan memberikan rasa ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah patuh. Karena masyarakat yang mengikuti program tax amnesty, berarti mengakui bahwa sebelumnya mereka tidak patuh dalam melakukan kewajiban perpajakan. Kedua, masyarakat akan cenderung "meremehkan" kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena "secara rutin" pemerintah mengeluarkan program tax amnesty. Kedua hal inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal.
Tetapi, di sisi lain, masyarakat indonesia secara umum, memang masih mempunyai literasi perpajakan yang rendah. Kalaupun masyarakat golongan yang sudah faham tentang perpajakan, budaya taat pajaknya juga masih rendah. Hal ini tercermin dari tingkat tax ratio Indonesia yang hanya bergerak di kisaran 10%. Tahun 2025, kebijakan coretax system akan diberlakukan, ini membutuhkan prasyarat wajib pajak mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik. Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat.
Dari sisi pemerintah, paling tidak ada 3 (tiga) manfaat dengan kebijakan tax amnesty. Pertama, kebutuhan budgeteir, yaitu untuk menambah pemasukan buat APBN. Kedua, harta bersih yang dilaporkan oleh wajib pajak, akan muncul yang sebelumnya menjadi bagian underground economy, bisa masuk ke Sistem Keuangan Indonesia yang lebih terbuka, dan selanjutnya menjadi aset yang lebih produktif masuk dalam putaran perekonomian nasional. Ketiga, bisa membantu memberikan daya ungkit terhadap pertumbuhan ekonomi 8%, karena tidak ada kekhawatiran masyarakat untuk membelanjakan uang yang telah diakui dalam program tax amnesty tersebut.
Secara prinsip, fungsi pajak adalah untuk keuangan negara atau fungsi budgeteir, dan juga fungsi mengatur ekonomi atau regulerend. Dalam konteks kebijakan tax amnesty ini, aspek budgeteir dan regulerend bisa didorong bersama dan memberikan manfaat. Kesimpulannya, kebijakan tax amnesty adalah program yang kurang ideal, tapi dibutuhkan oleh masyarakat dan pemerintah.
Jakarta, 20 November 2024
Ajib Hamdani
Analis Kebijakan Ekonomi APINDO