Allah yang Setia Menunggu

Minggu, 10 September 2017 16:59:45 874
Allah yang Setia Menunggu
Oleh Saidul Tombang
 
Anda rindu kepada Allah? Sama. Allah juga merindui Anda. Bahkan melebihi rasa rindu yang pernah Anda punya. Dia menantikan kehadiran Anda siang dan malam, pagi dan petang, di tempat ramai ataupun kesunyian. Rindu Allah kepada Anda melebihi rindu musafir akan air, rindu orang tua pada anaknya, rindu jari dengan kukunya, rindu tampuk dengan buahnya. Inilah rindu segala rindu. Rindu di atas segalanya.
 
Allah selalu menunggu kunjungan Anda. Allah rindu saat-saat berduaan, saat hanya ada Anda dan dirinya. Saat romantis di kesunyian malam. Saat melankolis ketika Anda menitikkan air mata sambil bersandar di "dadanya" yang maha luas. Datanglah kepadanya karena dia sedang menanti kedatangan Anda.
 
Tapi, seringkali kita salah alamat ketika hendak menemui Allah. Kita salah sasaran. Kita tidak menemukan. Seringkali kita hanya menemui rumah kosong. Kampung lengang. Jalan tak berujung. Lalu kita pun berada di puncak ragu. Terkadang jemu. Bahkan terkadang kota tersesat di jamuan kemusyrikan.
 
Lebih dari itu kadang timbul tanya, apakah Allah memang ada? Apakah dia masih peduli dengan kita? Apakah... apakah... apakah... Kita pun galau. Gamang di puncak risau.
 
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menemukan Allah yang sedang menunggu?
 
Banyaj jalan menuju Tuhan. Alam terkembang adalah guru. Buku di pustaka adalah guru. Mursyid di mihrab surau adalah guru. Mbah Google pun adalah guru. Dari semuanya kita bisa dan boleh berguru. Guru adalah penuntun. Guru adalah penunjuk jalan. Dialah yang memberi laluan. Tanda-tanda. Karena itu pula, kita harus memiliki guru dan mestilah pandai memilih guru. Karena disebutkan dalam nash bahwa siapa yang melakukan sesuatu dan tidak memiliki guru maka gurunya adalah syaithan.
 
Tapi guru memiliki batas kemampuan. Dia tidak bisa melakukan segalanya. Bahkan ada milestone tertentu yang dia harus stop di sana. Tak boleh melebihi garis itu. Bukankah Jibril hanya sampai di Sidratul Muntaha ketika mengantarkan mikraj Nabi Muhammad SAW? Selebihnya Rasulullah berjalan sendiri menjumpai Tuhannya?
 
Begitu juga dengan kita, guru hanya akan mengantar kita sampai ke batas. Selebihnya kita yang harus pergi sendiri bertemu Tuhan. Sendirian. Saat dimana kita hanya berdua-duaan. Saat kita bisa romantis. Bahkan saat kita bisa "two in one" denganNya. Melebur dalam kefanaan yang tidak biasa itu.
 
Lalu, kalau kita hanya sendirian, bahkan tanpa guru yang menuntun, akan kemana kita mencari Tuhan? Sedangkan Jibril saja tidak mau dan tidak mampu mengganggu privacy kita apalagi kalau hanya guru yang juga manusia?
 
Sekali lagi, di saat kita sudah sendirian akan dimana kita temukan Tuhan?
 
Tuhan ada di suatu tempat yang tidak terkatakan. Dia menunggu kita disana. Di tempat itu, saat dimana engkau sudah fana, sudah ekstase, ketika itulah engkau akan bertemu dengannya. Lebih jauh? Engkau tidak hanya akan berjumpa dengannya, bahkan engkau akan melakukan dan menjadi sesuatu yang tidak terkatakan dengannya. Semacam besi yang menyala, entah mana besi entah mana api. Seperti bunga dengan harumnya. Seperti sesuatu yang tidak terkatakan lagi.
 
Kenali diri maka engkau kenal Tuhanmu. Ingatlah dia sehingga jiwamu tenang. Pada jiwa yang super tenang itulah engkau akan sampai pada puncaknya; wallahu maakum ainamaa kuntum. Tak usah artikan ayat ini. Cukup dinikmati bersama guru zhahir di sekelilingmu.***
 
#selalumerindukankelambuyangpengapitu

KOMENTAR