Lalai dalam Kasus Covid-19, LeCI Nilai Pemerintah Dinilai Abai Terhadap Keamanan Negara

Rabu, 25 Maret 2020 14:16:38 690
Lalai dalam Kasus Covid-19, LeCI Nilai Pemerintah Dinilai Abai Terhadap Keamanan Negara

Jakarta, Inforiau.co - Di saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan penyebaran virus COVID-19 sebagai pandemi global di awal tahun, pemerintah Indonesia masih mengeluarkan kebijakan berupa himbauan tanpa kebijakan real.

Hingga sampai hari ini terdapat total kasus 686 positif Covid-19, dengan pasien meninggal lebih tinggi 55 orang dan yang sembuh hanya 30 orang. Hal ini memberikan posisi Indonesia sebagai negara tertinggi di Asia Tenggara dalam penyebaran virus ini.

Ada yang harus dikritisi terhadap tindak tanduk pemerintah yang lambat dalam menanganinya.Kita semua tahu bahwa pendapat pemerintah di awal tahun sampai bulan Februari yang masih menganggap remeh penyebaran virus COVID-19. Hal ini membuat warga masyarakat geram atas kelalaian pemerintah dalam mencegah penyebaran. Sehingga keluarlah justifikasi negara abai terhadap keamanan negara.

Hal senada disebut juga oleh M Rizqi Azmi sebagai Direktur Legal Culture Instiitute (LeCI) dalam komunikasi singkat melalui sosial media bahwa terjadi perubahan persepsi kepercayaan masyarakat terhadap lemahnya kebijakan pemerintah dan menganggap bahwa perlu mengevaluasi kepemimpinan presiden dan wakil presiden.

“Kehadiran COVID-19 ternyata menjadi salah satu parameter penting dalam mengukur kinerja pemerintahan Jokowi-ma’ruf. Kami secara tidak sengaja menemukan gejala baru dalam mengukur persepsi public terhadap kebijakan pemerintahan di bulan Desember sampai Februari. Ternyata negara di uji dengan variable Force Majeure yang jarang sekali diungkapkan dalam keadaan darurat yaitu wabah.

"Pemerintah terkejut dan terhenyak di saat semuanya menjalar dengan cepat. Artinya pemerintahan Jokowi periode 2 memang tidak siap menanggulangi variable baru ini sehingga semuanya kita saksikan peningkatan korban dari hari ke hari di mulai pada awal Maret” jelasnya.

Dalam analisanya terdapat beberapa indikator yang menimbulkan ketidakpercayaan public terhadap penanganan corona yang berimbas kepada ketidakpercayaan jalannya pemerintahan. Ditambah lagi dengan resesi global yang juga harus dihadapi pemerintah.

“Kami melihat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakpercayaan publik. Pertama, kelalaian mengambil kebijakan yang butuh ketegasan cepat yang akhirnya kontra dengan jargon kerja, kerja dan kerja. Kedua, lemah dalam menggunalan instrument hukum. Sebenarnya pemerintah bisa bergerak cepat tanpa menunggu peraturan teknis seperti surat edaran dan himbauan. UU no 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan bisa dipakai. Semuanya lengkap mengatur tentang keadaan darurat kesehatan. Tapi selama ini tidak pernah dipakai dan seakan-akan mengindahkannya.

Ketiga, lemahnya koordinasi dengan daerah dan mementingkan ego sektoral sehingga masing-masing daerah menempuh jalannya sendiri untuk menyelamatkan warganya (auto pilot). Keempat, tidak memperhitungkan efek domino terhadap sektor lain seperti ekonomi dan ketenagakerjaan. Keragu-raguan pemerintah dalam mengambil tindakan akhirnya berimbas kepada resesi ekonomi dan hilangnya lapangan pekerjaan. Pemerintah tidak bisa menindak penampung masker dan hand sanitizer, APD dan Alkes.

"Sampai hari ini masih ada yang menjual masker diatas 500 ribu dan masih banyak karyawan tetap yang di permainkan pengusaha untuk bekerja di rumah namun potong gaji atau dipilih mengundurkan diri” jelasnya.

Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut mengatur tentang karantina wilayah dilakukan untuk mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Kemudian, pada pasal 1 angka 2 menyebut bahwa kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Terkait dengan effect yang terjadi di Perancis, gugatan terhadap perdana menteri yang dilakukan kolektif bernama C19 yang berisi kurang lebih 600 Dokter dan tenaga kesehatan menggugat mantan Menteri Kesehatan Agnès Buzyn dan Perdana Menteri Édouard Philippe. Kedua pejabat ini dianggap tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlambat penyebaran Corona COVID-19 meskipun mereka sadar akan bahayanya. Beliau juga memberikan tanggapan bahwa kejadian ini bisa akan terjadi di Indonesia dengan gabungan masyarakat melayangkan gugatan bahkan legislatif bisa mengeluarkan sinyal pemakzulan terhadap Presiden Jokowi melalui pertimbangan Mahkamah Konstitusi.

“Beberapa isu pemakzulan di Perancis bisa saja memberikan efek kejut di Indonesia. Karena persepsi publik terhadap kepercayaan sudah turun sehingga mudah menjustifikasi. Sehingga pada akhirnya kalau bergabung kemarahan rakyat dengan politisi maka tuntutan pemakzulan bisa saja terjadi. Mulai dari isu lalai menahan virus, lalai dalam menahan angka kematian sampai tenaga medis sudah mulai tumbang, resesi ekonomi dan PHK di depan mata, gesekan sosial dan penyebaran hoaks dimana-mana. Namun harus dipahami bahwa konsep pemakzulan harus menggunakan pembuktian yang kuat sesuai arahan pasal 7A UUD 1945 yaitu terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang kesemuanya harus ada pertimbangan Mahkamah Konstitusi”jelasnya.

Beliau menjelaskan bahwa langkah yang terbaik adalah pemerintah mengikuti Hukum sebagai panglima dengan mengimplementasikan peraturan perundang-undangan dan memperhatikan Hak Asasi Manusia sebagai komponen dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

“ Sekarang harus dipahami bahwa presiden harus sadar akan kelemahan dirinya selama ini dan jangan malu untuk mengakui itu. Sehingga nanti akan terbuka pintu solusi yang baik karena mau mendengarkan pihak lain dan bertindak cepat. Hilangkan kepentingan politik dan ikuti saran yang terbaik dari rakyat serta terimalah kritikan dan surat peringatan rakyat melalui turunnya kepercayaan publik. Jangan sampai pada waktunya, rakyat mengajukan citizen law suit atau class action barulah presiden tersentil”sarannya. rls

Jakarta, Inforiau.co - Di saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan penyebaran virus COVID-19 sebagai pandemi global di awal tahun, pemerintah Indonesia masih mengeluarkan kebijakan berupa himbauan tanpa kebijakan real.

Hingga sampai hari ini terdapat total kasus 686 positif Covid-19, dengan pasien meninggal lebih tinggi 55 orang dan yang sembuh hanya 30 orang. Hal ini memberikan posisi Indonesia sebagai negara tertinggi di Asia Tenggara dalam penyebaran virus ini.

Ada yang harus dikritisi terhadap tindak tanduk pemerintah yang lambat dalam menanganinya.Kita semua tahu bahwa pendapat pemerintah di awal tahun sampai bulan Februari yang masih menganggap remeh penyebaran virus COVID-19. Hal ini membuat warga masyarakat geram atas kelalaian pemerintah dalam mencegah penyebaran. Sehingga keluarlah justifikasi negara abai terhadap keamanan negara.

Hal senada disebut juga oleh M Rizqi Azmi sebagai Direktur Legal Culture Instiitute (LeCI) dalam komunikasi singkat melalui sosial media bahwa terjadi perubahan persepsi kepercayaan masyarakat terhadap lemahnya kebijakan pemerintah dan menganggap bahwa perlu mengevaluasi kepemimpinan presiden dan wakil presiden.

“Kehadiran COVID-19 ternyata menjadi salah satu parameter penting dalam mengukur kinerja pemerintahan Jokowi-ma’ruf. Kami secara tidak sengaja menemukan gejala baru dalam mengukur persepsi public terhadap kebijakan pemerintahan di bulan Desember sampai Februari. Ternyata negara di uji dengan variable Force Majeure yang jarang sekali diungkapkan dalam keadaan darurat yaitu wabah.

"Pemerintah terkejut dan terhenyak di saat semuanya menjalar dengan cepat. Artinya pemerintahan Jokowi periode 2 memang tidak siap menanggulangi variable baru ini sehingga semuanya kita saksikan peningkatan korban dari hari ke hari di mulai pada awal Maret” jelasnya.

Dalam analisanya terdapat beberapa indikator yang menimbulkan ketidakpercayaan public terhadap penanganan corona yang berimbas kepada ketidakpercayaan jalannya pemerintahan. Ditambah lagi dengan resesi global yang juga harus dihadapi pemerintah.

“Kami melihat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakpercayaan publik. Pertama, kelalaian mengambil kebijakan yang butuh ketegasan cepat yang akhirnya kontra dengan jargon kerja, kerja dan kerja. Kedua, lemah dalam menggunalan instrument hukum. Sebenarnya pemerintah bisa bergerak cepat tanpa menunggu peraturan teknis seperti surat edaran dan himbauan. UU no 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan bisa dipakai. Semuanya lengkap mengatur tentang keadaan darurat kesehatan. Tapi selama ini tidak pernah dipakai dan seakan-akan mengindahkannya.

Ketiga, lemahnya koordinasi dengan daerah dan mementingkan ego sektoral sehingga masing-masing daerah menempuh jalannya sendiri untuk menyelamatkan warganya (auto pilot). Keempat, tidak memperhitungkan efek domino terhadap sektor lain seperti ekonomi dan ketenagakerjaan. Keragu-raguan pemerintah dalam mengambil tindakan akhirnya berimbas kepada resesi ekonomi dan hilangnya lapangan pekerjaan. Pemerintah tidak bisa menindak penampung masker dan hand sanitizer, APD dan Alkes.

"Sampai hari ini masih ada yang menjual masker diatas 500 ribu dan masih banyak karyawan tetap yang di permainkan pengusaha untuk bekerja di rumah namun potong gaji atau dipilih mengundurkan diri” jelasnya.

Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut mengatur tentang karantina wilayah dilakukan untuk mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Kemudian, pada pasal 1 angka 2 menyebut bahwa kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Terkait dengan effect yang terjadi di Perancis, gugatan terhadap perdana menteri yang dilakukan kolektif bernama C19 yang berisi kurang lebih 600 Dokter dan tenaga kesehatan menggugat mantan Menteri Kesehatan Agnès Buzyn dan Perdana Menteri Édouard Philippe. Kedua pejabat ini dianggap tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlambat penyebaran Corona COVID-19 meskipun mereka sadar akan bahayanya. Beliau juga memberikan tanggapan bahwa kejadian ini bisa akan terjadi di Indonesia dengan gabungan masyarakat melayangkan gugatan bahkan legislatif bisa mengeluarkan sinyal pemakzulan terhadap Presiden Jokowi melalui pertimbangan Mahkamah Konstitusi.

“Beberapa isu pemakzulan di Perancis bisa saja memberikan efek kejut di Indonesia. Karena persepsi publik terhadap kepercayaan sudah turun sehingga mudah menjustifikasi. Sehingga pada akhirnya kalau bergabung kemarahan rakyat dengan politisi maka tuntutan pemakzulan bisa saja terjadi. Mulai dari isu lalai menahan virus, lalai dalam menahan angka kematian sampai tenaga medis sudah mulai tumbang, resesi ekonomi dan PHK di depan mata, gesekan sosial dan penyebaran hoaks dimana-mana. Namun harus dipahami bahwa konsep pemakzulan harus menggunakan pembuktian yang kuat sesuai arahan pasal 7A UUD 1945 yaitu terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang kesemuanya harus ada pertimbangan Mahkamah Konstitusi”jelasnya.

Beliau menjelaskan bahwa langkah yang terbaik adalah pemerintah mengikuti Hukum sebagai panglima dengan mengimplementasikan peraturan perundang-undangan dan memperhatikan Hak Asasi Manusia sebagai komponen dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

“ Sekarang harus dipahami bahwa presiden harus sadar akan kelemahan dirinya selama ini dan jangan malu untuk mengakui itu. Sehingga nanti akan terbuka pintu solusi yang baik karena mau mendengarkan pihak lain dan bertindak cepat. Hilangkan kepentingan politik dan ikuti saran yang terbaik dari rakyat serta terimalah kritikan dan surat peringatan rakyat melalui turunnya kepercayaan publik. Jangan sampai pada waktunya, rakyat mengajukan citizen law suit atau class action barulah presiden tersentil”sarannya. rls

KOMENTAR