Sang Pemulung
Jumat, 25 Agustus 2017 09:21:50 1120

kelambu sempit ukuran 1x1 meter tempat khalwat atau suluk yang diisi dengan dzikir dan ibadah kepada Allah SWT
Oleh : Saidul Tombang
Ini bukan gua Hira, tempat Nabi Muhammad SAW pertana kali disuruh melafal iqra. Ini kelambu, berukuran 1 meter lebar, 1 meter tinggi, dan tak sampai 2 meter panjang. Memang, nyaris seukuran gua Hira di Makkah Almukarramah.
Tak cukup untuk berdiri. Tak leluasa untuk berbaring. Dan yang pasti kita sendiri dan sunyi. Walau ada kawan di kanan-kiri tetap saja tak ada yang peduli. Siang dan malam hanya bermunajat diri. Menyerahkan diri ke rabbul izzati.
Hidup terasing, jauh dari anak dan keluarga. Jauh dari hiruk pikuk dunia. Kalau bisa hanya ada kita dan Dia. Tak ada jabatan yang hebat itu. Tak ada rumah megah dan mobil mewah. Tak ada makanan lezat dan minuman nikmat. Kita terasing dari semuanya. Kita sendiri dan selalu merenung diri.
Ini bukan gua Hira. Ini adalah kubur. Laksana kubur. Suatu saat kita akan seperti ini. Berada di sini. Sendiri. Di ruang sempit. Jauh dari segalanya. Jauh dari dunia yang hanya jarak sejengkal dengan kita. Jauh dari keluarga yang masih bisa dilihat pelupuk mata. Jauh dari kenikmatan dunia dan isinya.
Di sini segala sedih adalah pedih. Segala masa lalu adalah pilu. Segala kenangan adalah buangan. Yang ada hanya kita dan Dia.
Beruntung kita yang membawa bekal cukup, bisalah untuk bertahan hidup. Bagi yang membawa bekal pas-pasan, hiduplah dalam kecemasan. Apalagi kalau datang ke sini tanpa persiapan apa-apa, hidup diliputi gundah gulana.
Pun, walau datang dengan bekal berlimpah, tetap saja kita rindu dengan setiap kunjungan. Menanti keluarga yang datang. Menanti kiriman makanan hangat dan minuman melegakan. Bila datang waktu makan, kepala menjulur ke balik kelambu. Berharap ada yang datang. Berharap ada yang berkunjung.
Beruntung bagi yang selalu dikunjungi. Beruntung bagi yang dibawakan makanan. Beruntung bagi yang dapat berbagi tawa dan bahagia dengan keluarga yang berkunjung.
Tapi, bagi mereka yang merana. Hidup sendiri. Tak ada yang mengunjungi. Tak ada yang mengantarkan bekal, ini adalah neraka sebelum hisab dimulai. Alangkah sedihnya hati. Tercabik-cabik dan ditusuk-tikam duri. Ketika melihat teman dikunjungi dan dikirimi, kita hanya melihat dengan air mata jatuh ke lubuk hati.
Bila badan sudah letih, kita hanya bisa mengais sisa-sisa rezeki. Jatah bersama. Meminta dan memulung apa yang tersisa.
Inilah gua Hira. Inilah kuburan. Inilah gambaran bila kita di alam barzakh. Kita sangat menanti ada yang datang mengunjungi. Bersedekah tahlil yang akan menjadi nasi. Bersedekah doa yang akan menjadi penyambung nyawa. Bersedekah harta biar bisa mengguratkan bahagia.
Beruntung yang punya keluarga dan rajin mengunjungi. Beruntung bagi yang punya keluarga dan senantiasa berdoa dan bersedekah harta.
Dari ruang pengap ini kami selalu berdoa kepada yang masih merdeka di luar sana, suatu saat Anda akan seperti kami. Hidup menanti sesuatu yang tidak pasti.***
Tak cukup untuk berdiri. Tak leluasa untuk berbaring. Dan yang pasti kita sendiri dan sunyi. Walau ada kawan di kanan-kiri tetap saja tak ada yang peduli. Siang dan malam hanya bermunajat diri. Menyerahkan diri ke rabbul izzati.
Hidup terasing, jauh dari anak dan keluarga. Jauh dari hiruk pikuk dunia. Kalau bisa hanya ada kita dan Dia. Tak ada jabatan yang hebat itu. Tak ada rumah megah dan mobil mewah. Tak ada makanan lezat dan minuman nikmat. Kita terasing dari semuanya. Kita sendiri dan selalu merenung diri.
Ini bukan gua Hira. Ini adalah kubur. Laksana kubur. Suatu saat kita akan seperti ini. Berada di sini. Sendiri. Di ruang sempit. Jauh dari segalanya. Jauh dari dunia yang hanya jarak sejengkal dengan kita. Jauh dari keluarga yang masih bisa dilihat pelupuk mata. Jauh dari kenikmatan dunia dan isinya.
Di sini segala sedih adalah pedih. Segala masa lalu adalah pilu. Segala kenangan adalah buangan. Yang ada hanya kita dan Dia.
Beruntung kita yang membawa bekal cukup, bisalah untuk bertahan hidup. Bagi yang membawa bekal pas-pasan, hiduplah dalam kecemasan. Apalagi kalau datang ke sini tanpa persiapan apa-apa, hidup diliputi gundah gulana.
Pun, walau datang dengan bekal berlimpah, tetap saja kita rindu dengan setiap kunjungan. Menanti keluarga yang datang. Menanti kiriman makanan hangat dan minuman melegakan. Bila datang waktu makan, kepala menjulur ke balik kelambu. Berharap ada yang datang. Berharap ada yang berkunjung.
Beruntung bagi yang selalu dikunjungi. Beruntung bagi yang dibawakan makanan. Beruntung bagi yang dapat berbagi tawa dan bahagia dengan keluarga yang berkunjung.
Tapi, bagi mereka yang merana. Hidup sendiri. Tak ada yang mengunjungi. Tak ada yang mengantarkan bekal, ini adalah neraka sebelum hisab dimulai. Alangkah sedihnya hati. Tercabik-cabik dan ditusuk-tikam duri. Ketika melihat teman dikunjungi dan dikirimi, kita hanya melihat dengan air mata jatuh ke lubuk hati.
Bila badan sudah letih, kita hanya bisa mengais sisa-sisa rezeki. Jatah bersama. Meminta dan memulung apa yang tersisa.
Inilah gua Hira. Inilah kuburan. Inilah gambaran bila kita di alam barzakh. Kita sangat menanti ada yang datang mengunjungi. Bersedekah tahlil yang akan menjadi nasi. Bersedekah doa yang akan menjadi penyambung nyawa. Bersedekah harta biar bisa mengguratkan bahagia.
Beruntung yang punya keluarga dan rajin mengunjungi. Beruntung bagi yang punya keluarga dan senantiasa berdoa dan bersedekah harta.
Dari ruang pengap ini kami selalu berdoa kepada yang masih merdeka di luar sana, suatu saat Anda akan seperti kami. Hidup menanti sesuatu yang tidak pasti.***